Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) akan mengeluarkan US$3.85 miliar (Rp 56 triliun) untuk menaikan kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia (PTFI) menjadi 51.23% dari sebelumnya 9.36%.
Dana untuk membeli berasal dari pinjaman sejumlah bank asing. Walau membayarnya dengan utang, namun tidak ada satu aset dan saham milik Holding dan anggota Holding yang digadaikan.
PTFI mengelola tambang Grasberg di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Tambang ini memiliki kekayaan emas terbesar di dunia.
Inalum dan Freeport McMoRan (FCX), pemegang saham mayoritas PTFI, telah menandatangani perjanjian jual beli yang mengikat pada tanggal 27 September yang lalu, dan kepemilikan PTFI akan resmi beralih ke Inalum pada saat transaksi pembayaran ke FCX selesai dilakukan pada bulan November nanti.
“Tidak ada aset atau saham yang digadaikan untuk mendapatkan pinjaman tersebut. Bank-bank asing tersebut melihat potensi bisnis PTFI sangat bagus dan harga yang dibayarkan Inalum ke FCX dianggap sangat murah,” kata jubir Inalum Rendi Witular.
Bank asing yang terlibat dalam pendanaan ini juga merupakan bank-bank internasional ternama. Tidak ada bank Cina yang akan ikut membiayai karena bunga yang ditawarkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tawaran bank-bank lainnya.
Mengapa harus bank asing? Karena kalau dari bank dalam negeri ditakutkan akan mengganggu nilai tukar rupiah karena ada aliran dolar yang keluar dari Indonesia. Utang ini juga tidak membebani utang pemerintah karena kapasitas Inalum untuk membayar sangat kuat.
Alasan Inalum berutang untuk membeli saham PTFI dilatarbelakangi murni oleh kepentingan bisnis guna meningkatkan nilai pengembalian investasi dan ekuitas.
Harga yang harus dibayar Inalum sebesar Rp 56 triliun dianggap murah karena kekayaan tambang PTFI ditaksir senilai paling sedikit Rp 2.190 triliun dan laba bersih PTFI akan sebesar Rp 29 triliun per tahun mulai tahun 2022. Jadi dengan mudah utang tersebut dapat dilunasi oleh Inalum dalam 5 tahun.
Perjanjian dengan FCX ini tidak berarti Inalum membeli tanah air sendiri. Yang dibeli adalah saham perusahaan PTFI, bukan cadangan yang dimiliki oleh PTFI dimana PTFI sudah mengantongi izin komersil untuk menambang di Grasberg sejak zaman Soeharto 50 tahun yang lalu.
Ini merupakan kesepakatan komersial busines-to-business (B2B) sehingga penyelesaiannya juga dilakukan melalui pendekatan komersial dengan tetap menempatkan kepentingan dan keuntunganyang lebih besar untuk negara. (*)