News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengusaha Penggilingan Padi: Bulog Jangan Keluarkan Kebijakan Asal Beda

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Buruh tani memasukkan gabah yang telah dikeringkan ke dalam sak di tempat penggilingan padi, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (7/1/2015) sore.

Laporan Reporter Kontan, Dikky Setiawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, Bulog harus memiliki strategi yang pas dalam mengamankan stok beras dan mendistribusikannya ke masyarakat.

Menurutnya, peran utama Bulog adalah penyeimbang harga pangan. 

Kenaikan harga beras belakangan ini dan dominannya beras impor dalam gudang Bulog adalah bukti ketidakantisipatifan dan inkababilitas penyerapan beras petani. Dia mencontohkan saat memimpin Bulog stok tersedia 3.645.000 ton, tertinggi selama Bulog berdiri. 

"Kenapa bisa seperti itu, karena ada produksi yang berlebih, dan strategi kita pas. Bagaimana strategi yang tepat?, saat produksi tinggi, saat itu kita (Bulog) beli karena harga turun, Kalau strategi tidak pas, tidak dapat barang. Jadi begitu, jangan hanya asal tampil beda,” ujar Sutarto, usai diskusi bertema Mengurai Polemik Data Produksi Beras di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UI Salemba, Jakarta, Kamis (22/11/2018).

Baca: Indosat Ooredoo Kembangkan Layanan 5G

Menurut Sutarto, kenaikan harga beras di akhir tahun ini harus diantisipasi dengan menggelontorkan beras melalui Operasi Pasar Bulog. 

Ia mengatakan, kebutuhan perbulan saat ini sekitar 3 juta ton. Dengan rata-rata lahan produksi 500 ribu hektar yang panen, kata dia, maka di pasaran akan ada sekitar 1,5 juta ton. 

“Berarti kan kurang 1,5 juta ton, itu dimana? Ada di stok masyarakat yang masih punya atau menyimpan beras. Sisanya, Bulog harus gelontor, sudah selesai itu (kenaikan harga),” jelasnya. 

Defisit pasokan, juga menurutnya bukan hal baru.  Indonesia kerap mengalami defisit beras pada periode tertentu, yakni pada masa paceklik yang kerap datang pada Oktober hingga Desember.

Pada masa itu, angka produksi tentu lebih kecil dibandingkan kebutuhan masyarakat. Ini pula yang terjadi pada kondisi di pasar kini. Harga beras, terutama level medium, perlahan mengalami kenaikan.

Harga beras medium IR-64 kualitas I tercatat Rp 10.550 per kilogram (kg). Pada bulan lalu, harga beras jenis tersebut masih di angka Rp10.350 per kg. IR-64 kualitas II juga melonjak dari Rp9.625 per kg menjadi Rp 9.925 per kg. Bahkan, IR-64 kualitas terendah harganya sudah mencapai Rp 9.200 per kg dari bulan sebelumnya yang hanya Rp 8.825 per kg. Untuk beras medium kualitas I dan II kini sudah melebihi harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 9.450 per kg.

Tak ada berasnya

Dosen FEB UI dan pengamat kebijakan beras, Mohamad Ikhsan menambahkan, kisruh data beras yang terjadi di Kementerian Pertanian harus terus dibenahi.  Ia mengatakan, penelitian sederhana terhadap Pasukan Pengaman Presiden saja, konsumsi perkapita per tahun hanya di angka 60 sampai 80 kilogram per tahun. Sedangkan data Kemtan overestimated.

 “Jadi angka konsumsi 130an kilogram per tahun yang dipakai Kementan tidak masuk akal. Tentara saja tidak makan sebanyak itu, kita harus lihat konsumsi beras itu semakin menurun,” ujarnya. 

Ikhsan menganggap, buruknya data pangan sebagai darurat matematika. Ia juga menegaskan, tidak ada anomali kali ini. Yang terjadi, miming pasokan beras minim sekali dari dalam negeri.  

“Harga di pasar itu berbanding terbalik dengan stok Bulog. Kalau kurang, ya harus impor. Memang tidak ada berasnya, kan? Tidak perlu malu, dari 1961 Indonesia sudah impor. Hanya piada 1985-1988 saja pernah swasembada,” tukasnya. 

Pada saat seperti inilah, lanjutnya, pemerintah melalui Perum Bulog harus turun ke pasar dengan menggelontorkan stok yang dimiliki. Jika terus didiamkan, harga beras dipastikan terus menanjak naik bahkan hingga awal tahun mendatang.

Hal serupa diutarakan Direktur Statistik Tanam Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Badan Pusat Statistik, Hermanto bin Ashari Prawito. Berdasarkan pantauan BPS selama ini, Hermanto menyebut harga beras pada medio Oktober hingga Desember cenderung mengalami eskalasi. 

“Itu terjadi pada masa-masa dimana produksi berkurang. Itu memang pasti akan diikuti kenaikan harga, itu konsisten terjadi. Hukum ekonominya seperti itu,” kata Hermanto.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini