News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Timbunan Sampah di Perairan Selat Bali Bikin Nelayan Menjerit, Makin Sulit Mencari Ikan

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapal-kapal nelayan di Pantai Kedonganan, Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Foto ini diambil pada Minggu (8/11/2015)

Laporan Reporter Kontan, Dadan M. Ramdan

TRIBUNNEWS.COM, BALI -  Saat musim angin barat, adalah masa bagi nelayan di Bali liburan panjang. Tapi bukan waktunya untuk melancong, cari hiburan atau sekadar jalan-jalan mencari angin segar. Nelayan terpaksa liburan melaut karena gelombang tinggi. Badai musim barat menyulitkan nelayan untuk menebar jaring.

“Ikannya ada tapi dalam, jadi sulit ditangkap,” kata Khusairi, nelayan di Pantai Kedonganan, Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, saat berbincang dengan KONTAN, Minggu (2/12/2018) lalu.

Nelayan asal Madura ini menjelaskan, masyarakat lokal membagi lautan menjadi dua musim yaitu musim barat dan timur berdasarkan arah angin yang datang.

Selain badai yang sering terjadi, pada saat musim angin barat seperti saat ini di bulan Desember hingga awal tahun nanti adalah tepi pantai dibanjiri sampah yang terbawa arus laut. “Kena jaring bisa rusak, makanya tak melaut,” keluh Khusairi.

Keberadaan sampah bukan hanya dikeluhkan para nelayan. Wisatawan yang sengaja berwisata ke Bali untuk menimati keindahan pantai-pantai di Pulau Dewata ini, mengaku kurang nyaman dengan pemandangan tumpukan sampah plastik, bongkahan kayu, dan bambu.

Tapi yang dominan memang sampah plastik terutama bekas kemasan, botol-botol  minuman seperti terlihat di Pantai Kuta. “Menggangu sih, engak dilihat jadi fotonya kurang bagus,” aku Diana, wisatawan asal Bandung, Jawa Barat. Alhasil, relawan dan petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) berjibaku melakukan aksi bersih-bersih saban pagi ketika musim banjir sampah tiba.

Dia menyangkan, sikap pemerintah seakan tidak berdaya mengatasi limbah sampah yang volumenya terus bertambah sehingga penceramarn lingkungan kian parah.

“Saya sangat prihatin saat nonton televisi ada paus seperma di Kepulauan Wakatobi mati mengenaskan. Dalam perutnya ada sandal jepit, botol plastik, tali raffia dan kantong keresek. Engak kebayang gimana menderitanya ikan paus ini sebelum mati,” tutur mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Kembang.

Baca: Hinca: Perusakan dan Penghilangan Baliho SBY dan Demokrat Masif dan Dilakukan Malam Hingga Dinihari

Dengan peristiwa yang viral di media sosial tak hanya di dalam negeri tapi juga di mancanegera ini, Diana berharap semua pihak terbuka bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat limbah pelastik di lautan ini bukan main-main. Apalagi sampah-ini muncul di tempat wisata sekaliber Bali, yang menjadi andalah industri pariwisata Indonesia.

Saepudin, warga Perum Kori Nuansa, Jimbaran, Bali, menuturkan sampah yang ada di pesisir pantai terutama di Pantai Kuta dan Pantai Seminyak selalu datang musiman. “Sampai saat ini masih belum ada solusinya. Paling tidak pasukan kebersihan di area pantai diperbanyak timnya,” ungkap pengusaha di bidang networking yang sudah tinggal di Bali hampir 16 tahun.

Baca: Lima Anak Buah Menteri Imam Nahrawi Terjaring OTT KPK, Seperti Ini Modusnya

Ogin biasa disapa menambahkan, selama ini penanganan sampah di pantai pada musim kemarau sudah cukup maksimal dari DLHK. Namun saat datang musim hujan, penangan sampah biasanya keteteran. Banyak sampah terbawa ombak dari daerah lain,” imbuhnya.

Banjir sampah plasik tidak hanya di pantai-pantai di Bali. Timbunan sampah di Pantai Muara Angke, Jakarta, bahkan bisa mencapai 50 ton. Sampah plastik, limbah  minyak, hingga eceng gondok mencemari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Akibatnya sejumlah penyu sisik mati. Penyu sisik atau Eretmochelys imbricata adalah jenis penyu terancam punah yang tergolong dalam familia Cheloniidae. Penyu ini satu-satunya spesies dalam genusnya.

Baca: Ini Rahasia Sukses UD Trucks, Meracik Truk Jepang Rasa Eropa untuk Pasar Indonesia

Berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun dimana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.

Diperkirakan, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
 
Berdasarkan data, timbulan sampah di Indonesia didominasi oleh sampah organik sebesar 57 %, diikuti oleh sampah plastik 16%, kertas dan sampah karton 10%, dan lainnya 17%. Dalam satu dekade, komposisi sampah plastik meningkat 5%, timbunan sampah plastik meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir.

Jakarta menghasilkan 2.000 ton sampah kantong plastik setiap tahun dan 4 jenis sampah plastik paling umum yang ditemukan di ekosistem pesisir dan laut termasuk tas belanja plastik sekali pakai, sedotan plastik, kemasan sachet, dan styrofoam.

Alhasil, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jambeck (2015), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam sepuluh negara yang menghasilkan sampah plastik terbanyak di dunia. Indonesia menduduki peringkat kedua menghasilkan dan membuang sampah plastik ke laut pertahun sebesar 187,2 juta ton setelah Tiongkok (262,9 juta ton). Berada diurutan ketiga adalah Filipina (83,4 juta ton), diikuti Vietnam (55,9 juta ton), dan Sri Lanka (14,6 juta ton).

Sejatinmya, pemerintah berkomitmen untuk menetapkan target untuk pengurangan sebesar 30% dan dan penanganan sampah dengan benar sebesar 70% dari total timbulan sampah pada tahun 2025. Target tersebut dinyatakan secara resmi pada Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional tentang Pengelolaan Sampah.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim, pemerintah serius menyikapi ancaman sampah plastik. Pasalnya, tidak berharap anak-anak menjadi stunting akibat memakan ikan yang tercemar sampah plastik. “Bahaya mikro plastic ini kalau termakan ikan, dan ikannya dimakan manusian dan bisa melahirkan anak yang tidak sehat, stunting. Kita tidak mau melihat stunting generation di Indonesia,” sebut Luhut.

Atas dasar itu, pemerintah menyikapi persoalan sampah plastik secara serius. Tak hanya itu, pemerintah daerah juga mulai fokus menangani sampah plastik ini seperti Bali. Pemprov Bali mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik dan menggantinya dengan plastik dari singkong dan rumput laut. 

Namun opsi ini masih terkendala keterbatasan bahan baku dan harganya masih terbilang mahal. Sementara itu, mulai tahun depan, pemerintah berencana memberlakukan pajak plastik untuk turis. Pemerintah berencana menarik pungutan sampah kepada para turis, ancar-ancarnya sebesar US$ 1 untuk turis lokal dan US$ 10 buat turis mancanegara. Tagihan hotel nantinya memasukkan pungutan sampah, yang kemudian disetorkan ke kas daerah untuk membiayai pengelolaan sampah di daerah wisata. Namun sejumlah pihak masih meragukan pendekatan ini, termasuk soal transparansi penggunaan dananya.

Cawapres Sandiaga Uno juga memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan pencemaran plastik “Kami memiliki kepedulian terhadap masalah lingkungan, termasuk limbah plastik di laut. Perlu ada pengurangan penggunaan plastik dan pelarangan plastik sekali pakai. Dalam program aksi kami, kami tegas mencantumkan pentingnya upaya mendorong penggunaan kantong plastik yang berbahan nabati, bio degradable dan ramah lingkungan,” janjinya.

Rokhmin Dahuri, Juru Bicara Bidang Kemaritiman dan Perikanan TKN Jokowi-Ma’ruf, persoalan sampah yang ada di laut itu asalnya dari daratan. “Jadi penanganan sampah harus diawali dari daratan, sampah plastik ini dampaknya buruk terhadap hasil tangkapan ikan nelayan,” ungkapnya.

Melda Wita, Direktur Pelaksana Yayasan Econusa mengatakan, sampah plastik di lautan berasal dari aktivitas manusia di daratan. Karena itu, penanganan ini tidak bisa hanya berfokus pada sektor kelautan, pun demikian dengan kementerian adan lembaga maupun pemangku kepentingan lainnya.

“Sampah di Indonesia harus diselesaikan secara holistik dari hulu ke hilir, serta melibatkan produsen dan konsumen. Dengan demikian, dunia usaha juga harus bekerja keras di sini untuk memastikan produk kemasan mereka tidak menjadi beban lingkungan yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan ekosistem darat dan lautan,” bebernya.

Melda menambahkan, secara khusus Econusa memandang plastik sebagai ancaman terbesar sampah di darat dan lautan. Produk ini akan menjadi lebih mematikan ketika berakhir di lautan dan menjadi santapan para biota laut.

“Untuk itu, kami mendukung upaya masif dalam penanganan sampah plastik ini, termasuk pembatasan di tempat-tempat wisata, maupun rencana cukai plastik dan pajak plastik buat turis. Bagi kami, menekan penggunaan plastik seminimal mungkin bahkan menggantinya menjadi material yang ramah lingkungan adalah sesuatu yang harus didorong saat ini,” imbuhnya.

Andrew Lioe, Founder Jakarta Ocean Dive, juga khawatir dengan meningkatnya volume sampah plastik di Kepulauan Seribu, karena akan mengamcam bisnis bahari yang memang mengandalkan keindahan biota laut. Sampah plastik meyebabkan kerusakan terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan dan sumber makanan. Semakin rusak semakin berdampak buruk untuk bisnis bahari karena dalam bisnis ini yang dijual adalah keindahan bawah airnya.

Dengan rusaknya atau pencurian terumbu karang otomatis ikan akan berkurang dan banyak spesies laut yang mati karena terumbu karang sangat berfungsi sekali bagi tempat tinggal,tempat berkembang biak,tempat mencari makan para spesies ikan. “Sampah pelastik juga salah satu penghambat perkembangan karang,” keluhnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini