TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberian insentif fiskal kepada Pemerintah Daerah (Pemda) yang menerbitkan peraturan pelarangan penggunaan kantong dan produk plastik, dikhawatirkan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara.
Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Taufik Bawazier mengatakan, pemberian insentif kepada Pemda tersebut, bukanlah solusi yang tepat dalam penanganan sampah plastik di Tanah Air.
Menurutnya, kebijakan tersebut kontradiktif dengan kontribusi sektor industri plastik terhadap sumbangan ke Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan pajak nasional.
"Dengan melarang plastik berarti menghilangkan potensi penerimaan negara," ujarnya, Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Baca: KPU RI Batal Rilis Caleg Mantan Koruptor Malam Ini
Baca: Denmark Mulai Bangun Pagar Pemisah Sepanjang Perbatasan ke Jerman
Pada tahun ini, penerimaan cukai plastik dalam APBN 2019 dipatok sebesar Rp 500 miliar. Angka tersebut, sama seperti target penerimaan cukai plastik pada 2018.
Ia menjelaskan, solusi dalam penanganan sampah plastik sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 18/2008 tentang Sampah, yang bunyinya ada berbagai kewajiban Pemda dan Kementerian/Lembaga terkait untuk mengelola sampah.
"Dengan melakukan pengelolaan yang sampah yang baik, sampah plastik yang jumlahnya 16 persen dari total sampah dapat diolah kembali dan dimanfaatkan sebagai energi listrik, pupuk, dan bahan baku scrap industri recyling plastik," paparnya.
Demi pengelolaan sampah plastik dengan baik, katanya, Kementerian melakukan bimbingan dan mengusulkan keringanan pajak untuk industri daur ulang plastik. Namun, keringanan pajak tersebut hingga saat ini belum terealisasi.
Dalam sebuah penelitian global, menyebut polutan terbesar di laut bersumber dari filter rokok, bukan sedotan, kantong dan botol plastik.