Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vice President Corporate Jasa Marga (JSMR) Eka Setya Adrianto angkat bicara terkait keluhan pelaku usaha logistik atas besaran tarif tol Trans Jawa yang dinilai kemahalan.
Eka mengatakan, pihaknya kini mengkaji untuk menyeimbangkan keinginan pemegang saham dengan pengguna jalan.
“Keseimbangan ini terus kamu lakukan. Karena dasarnya kami perusahaan publik. Hitungan tarif ini sudah berdasarkan tender, dan lainnya,” papar Eka di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Menurutnya, besaran tarif tol yang diterapkan saat ini sudah sesuai dengan golongan kendaraan pengguna jalan tol.
JSMR menilai banyaknya kendaraan distribusi angkutan logistik yang memilih jalan biasa ketimbang jalan tol bukan karena alasan tarif tol terlalu mahal.
"Itu hanya pilihan, kalau merasa mahal lewat luar (jalan non tol, red), dan kalau merasa advantage lewat dalam," ujarnya
"Mungkin dengan bayar tol tapi dapat revenue dua kali lipat seharusnya malah bisa balancing cost,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo ) Nofrisel mengatakan, penerapan tarif baru jalan tol Trans Jawa berdampak signifikan terhadap biaya struktur para pelaku usaha truk Indonesia.
Baca: DIPO Group Resmikan Diler Mitsubishi Ke-33 di Kota Medan
Aptrindo berharap pemerintah bisa menurunkan tarif tol tersebut. Nofrisel memaparkan jika diakumulusi tarif jalan tol saat ini bisa mencapai Rp 1 juta lebih, angka tersebut naik dua kali lipat dibanding sebelumnya yang untuk biaya jalan tol hanya menelan Rp 500.000 hingga Rp 600.000.
"Dengan komponen tol seperti itu kami merasakan adanya implikasi cost yang naik di struktur cost kami," ujar Nofrisel, Rabu (6/2/2019).
Nofrisel menyatakan, dengan melalui jalur tol Trans Jawa, biaya operasional truk kian membengkak. Padahal, tarif tol mengambil peran cukup besar dari total pengeluaran logistik.
"Kami sebagian melakukan tidak melewati jalan tol jadinya mereka milih jalur normal pantura," sebut Nofrisel. Untuk biaya logistik, biaya jalur darat masuk dalam deretan termahal kedua setelah biaya jasa via udara.
Nofrisel menjelaskan, akan menjadi tidak efisien jika membangun tol di mana-mana tapi tidak diikuti ketersediaan barang, dengan begitu pasokan untuk barang akan terbatas, dan tentunya barang berkurang ongkos akan menjadi sangat mahal.