Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Kalau ada orderan dari pelanggan, saya baru bisa balas paling besoknya, karena di rumah tak ada listrik apalagi internet, harus naik turun bukit dulu ke perbatasan di Cibolegar biar dapat," sembari tertawa Narman (28) menceritakan kisah hidupnya.
Tak pernah mengenyam pendidikan secara formal, Narman sukses berbisnis hasil karya pengrajin masyarakat Baduy di platform online dengan omzet belasan juta per bulannya.
Pencapaian tersebut bukan sesuatu yang mudah, terlebih bagi pria yang tinggal di kampung Marengo, Baduy, Banten yang terkenal kental akan adat menghormati leluhur dan menarik diri dari dunia modern.
Di tengah keterbatasan itu, Narman belajar secara otodidak untuk berselancar di internet, membuat surat elektronik dan membuat akun sosial media. Hal ini supaya dirinya bisa maju seperti masyarakat di perkotaan.
"Yang namanya teknologi, enggak boleh sebetulnya di sana. Di pedalaman tak ada transportasi, pendidikan. Secara ekonomi maju di mata mereka karena sudah terbiasa dengan keterbatasan itu, mereka sadar tak perlu banyak harta yang penting hormati adat leluhur," jelas Narman soal kondisi lingkungannya.
Narman sempat khawatir untuk berbisnis online, sebab adat dan tradisi melarang hal tersebut.
Baca: Susul China dan RI, Singapura Juga Larang Terbang Boeing 737 Max 8 Pasca Jatuhnya Ethiopian Airlines
Dia perlu berjuang untuk meyakinkan ketua adat di Baduy luar bahwa teknologi tidak akan menghancurkan tradisi Baduy, melainkan bisa digunakan secara bijak guna menggerakan perekonomian masyarakat. Untuk Baduy dalam yang berpenduduk sekira dua ribu orang, Narman mengaku belum berani berkompromi.
"Kepala adat bilang kalau mau lanjut kegiatan tidak boleh jadi orang Baduy. Saya yakinkan tidak mau merubah Baduy secara signifikan dari tenang damai ke hingar-bingar hanya bantu gimana bertahan jaga adat dan tradisi. Mereka hrs punya sumber kehidupan. Adat lebih bisa terjaga dengan ada kegiatan di sana beda kalau masyarakat pergi ke luar (wilayah) kan sayang," jelasnya.
Narman akhirnya memulai bisnis online dengan merk Baduy Craft sejak 2016. Awalnya, produk yang dipasarkan ia pinjam dari hasil kerajinan temannya dengan sistem bagi hasil.
Baca: Usulan Baru Menkeu: PPN BM Kendaraan Bermotor Menjad di Bawah 3.000 cc dan di Atas 3000 Cc
Sekarang, dia sudah merangkul sebanyak 25 pengrajin untuk menghasilkan produk berupa kain tenun, gelang, kalung, ikat kepala, tas rajutan dan lainnya.
Anak kedua dari empat bersaudara itu berhasil menemukan pasar mulai dari Jabodetabek, Lampung, Riau, hingga Kalimantan. Namun, kendala lainnya adalah memenuhi pesanan pelanggan.
Baca: Tiba di Cianjur, Prabowo Disambut Ratusan Pendukung, Warga Cianjur Mah Soemah. . .
Untuk menemukan sinyal bagus, Narman perlu berjalan kaki sekira 2 kilometer ke daerah perbatasan di Sibolengar. Jarak ke penyedia logistik juga harus ditempuh sekita 12 kilometer dari tempat tinggalnya.
"Kesulitan dari segi produksi ada. Karena masyarakat di sana menolak alat-bagus bagus dimana bisa mempercepat proses produksi. Ini mereka kerajinan tangan jadi agak lama tapi nilai plusnya lebih eksklusif dan bernilai," jelasnya.
Selain menjual di platform online, Narman mulai merambah pameran-pameran kerajinan tangan di sejumlah mal. Puluhan pameran dia ikuti untuk memasarkan produk kearifan lokal itu.
"Saya mau tunjukan orang Baduy punya keahlian, kenapa tidak kita bantu, dan saya sadar tidak bisa tidak berhubungan dengan orang luar," tukas dia.