Pemerintah harus terus mendorong pengembangan ekonomi maritim mengingat sektor tersebut memiliki potensi yang begitu besar sehingga diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Wakil Ketua Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta, mengatakan sebagai negara kepulauan yang besar sudah seharusnya Indonesia menjadikan ekonomi maritim sebagai sektor penggerak utama untuk menopang perekonomian nasional. Kondisi itu, sambungnya, telah terjadi di pemerintahan saat ini.
“Transformasi fokus pemerintah di bidang maritim, dimulai oleh Presiden Jokowi. Jadi, Presiden Jokowi memulai langkah besar untuk kemajuan Indonesia dengan memberikan fokus yang besar terhadap bidang kemaritiman,” ujarnya pada Expo Maritim 2019, Jumat (22/03).
Arif menyebutkan bukan tanpa alasan ekonomi maritim mampu menjadi salah satu sektor penggerak ekonomi negara. Dalam paparan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Rokhmin Dahuri di Universitas Padjajaran pada 2018, total nilai potensi ekonomi maritim sekitar US$1,33 triliun per tahun dengan potensi serapan tenaga kerja sekitar 45 juta orang.
Sementara itu, dari studi Bappenas diketahui bahwa sektor perikanan dan pariwisata bahari merupakan dua industri dalam sektor ekonomi maritim yang memiliki tingkat inefisien investasi paling rendah (ICOR) dan memiliki tingkat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja paling tinggi (ILOR). Studi yang dilakukan pada 2019 itu mengungkapkan industri perikanan memiliki skor ICOR 3,3 dan skor ILOR 14,02. Adapun Pariwisata Bahari memiliki skor ICOR 3,01 dan skor ILOR 13,09.
“Apabila sektor ekonomi maritim ini terus maju dan berkembang, maka akan semakin banyak pula lapangan kerja yang tercipta. Kendati demikian, diperlukan komitmen yang kuat, tidak hanya dari pemerintah akan tetapi juga dari seluruh stakeholder yang terlibat,” ujar Arif.
Selain itu, untuk mampu menciptakan ekonomi maritim yang kuat, diperlukan tata kelola sumber daya alam (SDA) yang berasal dari maritim. Pasalnya, banyak negara dengan SDA maritim yang sangat kaya namun tidak mampu mengelolanya dengan baik sehingga membuat perekonomiannya terpuruk.
Arif mencontohkan dua negara yang gagal dalam tata kelola SDA maritimnya adalah Repubik Palau dan Nauru. Republik Palau sempat mengalami hasil tangkapan yang melimpah, sedangkan Nauru pernah menjadi negara terkaya di dunia pada 1975 karena tambang fosfatnya.
“Kegagalan mereka disebabkan oleh tata kelola yang buruk karena eksploitasi besar-besaran yang tidak berwawasan lingkungan. Indonesia harus belajar dari kegagalan dua negara tersebut. Jangan sampai negara kita yang kaya akan SDA maritimnya gagal, harus ada tata kelola yang baik.” tutup Arif. (*)