TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Semua orang sejatinya ingin hidup sejahtera pada masa tuanya. Namun, tak sedikit yang terjebak dalam kesulitan hidup. Bukan hanya tidak memiliki cukup uang jelang masa pensiun, tetapi ada yang terlilit hutang.
Perilaku boros selagi muda tidak selalu jadi alasan utama. Namun sangat bisa jadi sebagai akibat kurang memahami strategi terbaik dalam mengatur dan mengelola aset keuangan.
Itu sebabnya penting disimak saran Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat. Ia berbagi rumusan pengelolaan alokasi aset investasi yang bertumbuh, seperti property dan reksa dana saham, agar hidup tajir sebelum tua.
Rumusannya adalah “100 dikurang umur” yang telah diterapkan sendiri oleh Budi Hikmat yang dikenal sebagai penggagas “investasi ala Nabi Yusuf”.
Sebetulnya rumusan “100 dikurang umur” sudah lama populer di negara maju. Pada mulanya, rumus itu untuk menjaga agar ketika memasuki usia pensiun, investor dapat menhindari penurunan target total nilai aset sekira terjadi penurunan tajam seperti yang terjadi pada tahun 2008.
Baca: Mulai 6 April, KAI Tambah Tiket Perjalanan untuk Angkutan Lebaran 2019
Investor dengan demikian disarankan untuk memperbesar alokasi aset yang sifatnya konservatif seperti obligasi negara. Namun karena yield obligasi negara di sana relatif rendah dan sementara harapan usia investor lebih panjang, rumusan itu malah dimodifikasi seperti menjadi “110 dikurang umur”.
Baca: Terungkap Seorang Menteri Disebut Pernah Minta Vanessa Angel Kencan Dinner Mimik-mimik Cantik
Berbeda di Indonesia, ungkap Budi, dimana masyarakat umumnya terbudayakan sebagai penabung, rumusan (100 – umur) terbilang mendesak untuk disosialisasikan.
“Data menunjukkan deposito tidak memberikan efek pertumbuhan (growth) bagi aset, bahkan kurang memberikan perlindungan (protection) terhadap inflasi. Memang bunga deposito pernah sangat tinggi, sekitar 65%, yang terjadi ketika perekonomian Indonesia sedang distabilkan setelah krisis moneter 1998”, ungkap Budi.
Selama 10 tahun terakhir, rata-rata total imbal hasil aset saham yang diukur berdasarkan capital gain dan dividen atas Indeks Harga Saham Gabungan mencapai 18,9% per tahun.
Imbal hasil ini jauh melebihi rata-rata inflasi 4,7% per tahun pada periode yang sama. Laju pertumbuhan aset saham itu memungkinkan investor menggandakan pokok investasi hanya dalam periode empat tahun.
Walau Budi memproyeksikan imbal hasil aset saham menurun pada kisaran 10% per tahun, namun tetap lebih tinggi ketimbang inflasi yang berkisar 3,5% sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia.
Lalu bagaimana penerapan rumusan “100 – umur” untuk investor Milenial seperti Adi yang berusia 30 tahun dengan pendapatan per bulan Rp10 juta? Rumus itu menyarankan sekitar 70% total aset Adi dialokasikan dalam bentuk property melalui fasilitas cicilan KPR dan juga reksadana saham yang diakumulasi secara berkala.
Namun dalam pembentukannya, Adi perlu menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi. Bila Adi memilih property sebagai aset jangka panjang yang akan ditinggali, maka dia sebaiknya membatasi cicilan KPR maksimum 30% pendapatan atau sekitar tiga juta rupiah.
Sementara untuk alokasi investasi reksadana saham secara berkala, Adi dapat membatasi hanya 2,5% pendapatan seperti yang disarankan oleh David Bach penulis buku laris Automatic Millionaire.