TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat pasar modal, Muhyil Rgani, memberikan penilaiannya atas laporan Keuangan PT Garuda Indonesia Tbk tahun 2018 yang menjadi polemik.
Diketahui, polemik muncul lantaran korporasi menempatkan piutang ke kolom pendapatan.
Terkait itu Muhyil Rgani, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (30/4/2019), menilai, laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sebenarnya tidak perlu diperdebatkan.
Baca: Laporan Keuangan Menuai Polemik, Ini Penjelasan Garuda Indonesia
Menurut dia, pengakuan pendapatan dalam bentuk piutang merupakan hal lazim dilakukan dalam praksis korporasi.
Tentu saja, paparnya, korporasi mencatatkan pendapatan dalam bentuk piutang tersebut dengan memerhatikan norma Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK.
Dia menilai, laporan keuangan GIAA sudah melalui proses audit oleh kantor akuntan publik dan disampaikan dalam rapat umum pemegang saham pekan lalu.
“KAP yang mengaudit tentunya sudah melaksanakan norma pemeriksaan sebaik-baiknya mengingat hal itu berkait dengan reputasi mereka. Tentu semua pihak juga perlu mempertimbangkan Garuda sebagai maskapai nasional dengan reputasi global yang dalam waktu enam bulan terakhir menunjukkan perbaikan kinerja signifikan berkat inovasi-inovasi tim manajemen baru,” ujar Muhyil.
Seperti diketahui, sepekan terakhir GIAA dilanda kampanye negatif berkait penolakan dua komisaris menandatangani laporan keuangan yang disampaikan dalam RUPS perseroan di Jakarta, pekan lalu.
Laporan keuangan tersebut diaudit oleh KAP Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan, yang merupakan anggota BOD Internasional dan masuk dalam lima besar firma akuntan publik global.
GIAA mencatat pendapatan usaha tahun 2018 sebesar 4,37 miliar dollar AS dan laba tahun berjalan senilai 5,02 juta dollar AS.
Kinerja GIAA membaik setelah manajemen melakukan sejumlah upaya untuk membenahi kondisi internal perseroan, antara lain efisiensi dan optimalisasi internal korporasi. Pada tahun 2017, GIAA masih merugi 213,39 juta dollar AS.
Laporan keuangan ini ditolak Chairal Tanjung, yang mewakili PT Trans Airways, dan Dony, yang mewakili Finegold Resources Ltd.
Keduanya menolak piutang dari hasil kerja sama PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018 dicatat sebagai pendapatan dalam laporan keuangan GIAA.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Sumarno mempertanyakan kenapa hal tersebut dipersoalkan.