TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) Mardiasmo mengatakan, pihaknya akan mengundang Dewan Standar Akuntansi Keuangan guna membahas soal laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 menjadi sorotan karena menempatkan piutang di kolom pendapatan.
"Kita baru mau undang dewan standar akuntansi, saya sebagai ketua mengundang karena akan menyiapkan semuanya," kata Mardiasmo saat ditemui di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (9/5/2019).
"Kan ada badan kehormatan, badan ini, itu kan alurnya sidang dulu. Mestinya dia akan melihat secara detail transaksinya, MoU-nya, itu kan harus secara detail," imbuhnya.
Mardiasmo yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan itu menjelaskan, pihaknya perlu mempelajari laporan keuangan tersebut secara menyeluruh.
Dia juga akan mengundang pihak Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) terkait auditor yang memeriksa laporan keuangan Garuda.
"Kan tidak mungkin dewan standar hanya tahu dari koran. Itu nanti setelah rapat dewan standar selesai tidak hanya satu tim setelah itu akan kita undang dewan pimpinan nasional IAI," jelasnya.
"Harus ditanya juga ke IAPI itu kan ikatan auditornya, apakah pembuatannya melalui suatu proses atau gimana," tambah dia.
Untuk diketahui, Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Garuda Indonesia pada 24 April 2019, mengumumkan bahwa sepanjang tahun 2018 perusahaan mencetak laba bersih 809,84 ribu dolar AS meningkat tajam dari tahun 2017 yang menderita kerugian sebesar 216,58 juta dolar AS.
Namun, laporan keuangan itu menjadi sorotan karena adanya penolakan dari dua komisarisnya. Penolakan tersebut terkaif perjanjian kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia, di mana apabila tanpa pengakuan pendapatan ini, perseroan diperkirakan akan alami kerugian sebesar 244,95 juta dolar AS.
Disorot Investor
Laporan keuangan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk pada tahun lalu banyak disorot investor.
Pasalnya, emiten berkode GIAA itu mendadak mencatatkan laba 5,02 juta dolar AS pada tahun lalu, padahal sebelumnya GIAA masih mencatatkan rugi yang cukup dalam.
Fuad Rizal, Direktur Keuangan GIAA menjelaskan pencatatan pendapatan dari PT Mahata Aero Teknologi secara akuntansi diperkenankan.
Dilansir Tribunnews dari KONTAN, sesuai dengan PSAK 23 pencatatan tersebut dimasukkan ke dalam pendapatan yang bila dananya belum diterima akan masuk ke post piutang.
"Kita mesti pahami ada dua pendapatan yaitu hak ekslusif dan pendapatan dari iklan. Pendapatan dari iklan ini yang ada profit sharingnya (dicatat)," ujarnya di Tangerang, Rabu (8/5).
Secara hitung-hitungan, nominal yang dicatat sebagai pendapatan dari Mahata merupakan pendapatan profit sharing yang berasal dari iklan.
Apalagi sesuai dengan kontrak kerjasama, maskapai BUMN ini menandatangani kontrak selama 15 tahun dengan Mahata.
"Karena ini profit sharing untuk pendapatan iklan, bagi Garuda tidak ada ruginya kasih 10-15 tahun. Walaupun kontraknya diputus, itu hak tagih sekitar 270 juta dolar AS itu tidak hilang," lanjutnya.
Yang jelas, menurutnya kerjasama dengan Mahata akan memberikan keuntungan bagi GIAA. Pasalnya, konsep bisnis Mahata membuat manajemen tidak perlu mengeluarkan dana investasi untuk penyediaan layanan wifi on board.
Sehingga manajemen bisa meraup pendapatan dari penyediaan spot dan profit sharing dari iklan.
"Sebelumnya Garuda harus bayar ke vendor (wifi) per bulan, karena bayar itu kami harus charge ke penumpang kalau tidak salah 21 dolar AS untuk long haul. Dengan model baru ini Garuda tidak keluarkan biaya untuk layanan wifi dan penumpang bisa dapat gratis," tutupnya.