Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bos sekaligus pemilik maskapai berbiaya murah AirAsia, Tony Fernandes angkat bicara soal kondisi industri penerbangan di tanah air.
Seperti diketahui, industri penerbangan Indonesia menjadi sorotan akibat melonjaknya harga tiket pesawat dalam beberapa bulan terakhir.
Pemerintah pun melakukan sejumlah kebijakan guna menciptakan harga yang lebih terjangkau untuk masyarakat.
Mulai dari merevisi tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat, hingga yang terakhir meminta maskapai LCC menurunkan harga tiket penerbangan domestik di jadwal-jadwal tertentu.
Menurut Tony, pemerintah seharusnya tidak perlu banyak mengatur soal bisnis perusahaan-perusahaan maskapai.
Baca: Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai Ikut Mendaftar Calon Pimpinan KPK
Baca: Menteri Bidang Ekonomi, Menkumham, dan Jaksa Agung Sebaiknya Tidak Diisi Orang Partai Politik
Baca: Polda Metro Jaya Kaji Izin Pertandingan Persija Vs Persib di Stadion Gelora Bung Karno
Baca: Susi Pudjiastuti: Hilangnya 10.000 Kapal Asing Justru Menaikkan Pendapatan Kita
Bukannya menyelematkan, lanjutnya, regulasi justru bisa membuat bisnis jadi kaku dan mematikan.
"Untuk pemerintah RI, saran saya jangan terlalu mengatur. Regulasi itu bisa mematikan bisnis," kata Tony di sela-sela peluncuran bukunya "Flying High" di Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (4/7/2019).
"Menurut saya pemerintah cukup memfasilitasi para pelaku bisnis, bukan mengatur," tambah dia.
Pemiliki klub sepakbola Queens Park Rangers itu berpendapat, konsumen sudah bisa menentukan sendiri produk mana yang akan digunakan.
Dengan begitu, pemerintah seharusnya membiarkan maskapai bersaing untuk menggaet konsumen tersebut.
"Biarkanlah pasar menentukan, biarkan customer yang memustuskan sesuatu terjangkau atau tidak untuk mereka," ujarya.
"Kalaupun industri yang sekarang tidak cukup baik, orang lain akan datang untuk bersaing menawarkan hal yang lebih menarik," tambahnya.
Buka-bukaan
Dilansir dari Kompas.com, Maskapai domestik mendapat sorotan tajam akibat tingginya harga tiket pesawat beberapa waktu lalu. Hal ini sampai membuat pemerintah turun tangan.
Penyebabnya lantaran beban operasional yang meningkat akibat harga avtur tinggi, pajak, hingga menguatnya kurs dollar AS terhadap rupiah.
Namun, di tengah situasi itu, maskapai AirAsia Indonesia masih berani memasang harga tiket yang relatif murah dibandingkan maskapai lain.
Mengapa bisa begitu? Direktur Utama AirAsia Indonesia Dendy Kurniawan mengatakan, pihaknya berupaya melakukan efisiensi sehingga harga tiket bisa lebih murah.
"Kenapa kami bisa murah atau efisien? Satu, kami hanya operasikan Airbus A320. Satu tipe. Ini memudahkan managing human resources kami. Pilotnya, krunya, engineer-nya ya cuma satu sertifikatnya untuk A320," ujarnya di Jakarta, Senin (25/6/2019).
Baca: Bangun Terminal LNG di Tanjung Perak, PGN Gandeng Pelindo III
"Jadi ini nilai plus kami dibandingkan maskapai lain yang mengoperasikan tipe pesawat lain. Kalau kami ada yang sakit, pilot cadangan bisa langsung menggantikan. Itu dari sisi kru," kata dia.
Dari sisi sparepart alat suku cadang. Lantaran hanya menggunakan Airbus A320, suku cadang yang disimpan menjadi lebih sedikit.
Ini membuat biaya penyimpanan lebih efisien daripada maskapai yang memiliki tipe pesawat yang banyak.
Kedua, memaksimalkan peranan grup. AirAsia Indonesia merupakan bagian dari AirAsia Group yang beroperasi di 6 negara dan 9 airline. Dengan bekerja secara grup, efisiensi sangat bisa dilakukan.
Misalnya dalam hal pembelian pesawat, dengan memesan pesawat secara grup, harganya akan jauh lebih murah daripada hanya satu maskapai yang memesan.
"Bargaining kami jadi lebih tinggi di mata mitra bisnis kami. Itu keunggulan yang kami miliki," kata dia.
Ketiga, utilisasi pesawat. Tidak bisa dimungkiri, biaya sewa pesawat sangat berat bagi biaya operasional. Oleh karena itu, AirAsia Indonesia memaksimalkan utilitas pesawat.
"Kami rata-rata utilisiasi pesawat 12,5 jam per hari. Kami punya target 13 jam. Bisa tetapi kendalanya adalah airport yang enggak 24 jam beroperasi," kata Dendy.
Selain itu, AirAsia Indonesia juga memaksimalkan waktu pesawat di darat yang hanya sekitar 25 menit. Hal ini dinilai penting sehingga utilitas pesawat bisa optimal selama satu hari.
Sumbang deflasi
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi sebesar 0,14 persen untuk kelompok pengeluaran transportasi, komunikasi dan jasa keuangan pada Juni 2019.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan deflasi pada kelompok pengeluaran tersebut terbesarnya dipengaruhi turunnya tarif angkutan udara (TBA) yang terjadi pada Juni 2019 sebesar 0,05 persen.
"Angkutan udara pada Juni 2019 mengalami penurunan. Ada pengaruhnya dari kebijakan batas atas 12-16 persen di Mei," katanya di kantor BPS, Jakarta, Senin (1/7/2019).
Penurunan harga tiket pesawat atau angkutan udara terjadi di 32 kota dengan angka penurunan terbesar di Makassar sebesar 12 persen dan Batam 11 persen dibandingkan Mei 2019.
Baca: Mei 2019, BPS Catat Kinerja Ekspor RI Melemah Dibanding Tahun Lalu
"Tarif angkutan udara di Juni turun dibanding Mei, otomatis penurunan itu menyumbang deflasi," tutur dia.
Di sisi lain tarif angkutan antarkota dan provinsi justru menjadi salah satu komoditas yang menyumbang inflasi.
Catatan BPS, kenaikan tarif ini memberikan andil inflasi sebesar 0,01 persen.
"Kenaikan tarif bus antar kota dan provinsi diakibatkan adanya momentum lebaran. Kenaikan tertinggi di Madiun naik 30 persen," paparnya.