TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia kini menjadi surga bagi komoditas kopi. Selain produksi melimpah, permintaan domestik juga sangat tinggi seiring dengan meningkatnya minat masyarakat minum kopi, dan didukung oleh tumbuhnya kedai-kedai kopi di kota besar sampai kota kecil di Tanah Air.
Hal ini diyakini bisa menjadi modal kuat bagi para pemain lokal bertanding dalam skala global yang lebih luas.
Indonesia berada di peringkat 4 terbesar kopi dunia dengan didukung oleh produksi kopi yang melimpah dan ditunjang iklim tropis.
Pakar Teknologi Pangan Universitas Sahid Giyatmi Irianto menilai, kopi Indonesia memiliki market yang sangat khas, terutama untuk industri berskala besar.
Di segmen ini persaingan berlangsung cukup ketat dan sudah terjadi sejak lama. Hal tersebut menurutnya membuat sulit pemain dari luar sulit masuk dan menguasai pasar domestik.
Baca: Nekat Gunakan BBM Premium dan Pertalite Berpotensi Menggugurkan Garansi Kendaraan
Keunikan lainnya di pasar kopi Indonesia, menurut Giyatmi,adalah metode mencampur kopi bubuk asli dengan campuran jagung. Dia menilai hal tersebut lumrah di industri pangan, sebagaimana saus tomat bahan ketela singkong dan ubi jalar.
Baca: Inilah Benny Wenda, Sosok yang Disebut Tokoh di Balik Rusuh Papua dan Kini Bermukim di Inggris
“Sebagai substitusi bahan pangan dengan alasan ketersediaan dan stabilias suplai bahan baku, ataupun karena persaingan ketat di pasar,” ujar Giyatmi.
Baca: Kisah Lahirnya Benih Padi IF16, Berawal dari Festival Padi di Indramayu
Tapi industri kopi lokal menghadapi tantangan berat saat dikelola oleh generasi kedua atau generasi penerus dari perintis dan pendiri perusahaan.
Merek Kapal Api yang dikelola PT Santos Jaya Abadi misalnya. Merk kapal ini masih dirundung sengketa merek dan sengketa warisan.
Baca: Alisa Wahid Kecewa, Cak Imin Sampai Saat Ini Tak Pernah Minta Maaf ke Keluarga Gus Dur
Lenny Setyawati dan Wiwik Sundari, saudara perempuan dari 3 orang pengelola PT Santos Jaya Abadi, yaitu Indra Boediono, Soedomo Mergonoto dan Singgih Gunawan, pernah mengajukan gugatan di 2013 dan disidangkan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Saat itu majelis hakim yang diketuai Erri Mustianto memenangkan materi penggugat.
Dalam gugatannya, Lenny dan Wiwik tak bisa menerima pembagian warisan Goe Soe Loet, termasuk PT Santos Jaya Abadi didasarkan pada wasiat sang ibunda, Po Guan Cuan.
Dalam wasiatnya, Po Guan Cuan mengamanatkan agar kepemilikan warisan 90 persen dibagi rata saudara lelaki, sedangkan para anak perempuan hanya mendapat 10 persen.
Lenny dan Wiwik merujuk kepada Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku bagi Golongan Tionghoa menyebutkan hukum waris dari semua keluarga sedarah, dibagi tanpa ada perbedaan, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Sebaliknya, pihak tergugat, yakni Soedomo dkk menyatakan, pendirian dan pengelolaan PT Santos Jaya Abadi tidak terkait sama sekali dengan warisan Goe Soe Lot. Berdasarkan Putusan MA Nomor 334 PK/Pdt/2017, gugatan para penggugat kemudian digugurkan.
Di sisi lain, para penggugat menyatakan memiliki bukti seperti surat wasiat menyebutkan warisan aset almarhum Goe Soe Lot juga termasuk pula aset PT Santos Jaya Abadi.