Profesor Rhenald Kasali, Kamis (29/8) memperkenalkan karya terbarunya yang berjudul #MO. Bertempat di Vertical Garden, Telkom Landmark Tower, hasil riset terbarunya itu menarik perhatian publik, karena berhasil memetakan dengan jelas gejala mobilisasi dan orkestrasi yang belakangan marak dilakukan dengan teknologi digital.
Ia mencatat, digitalisasi kehidupan telah membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap cara setiap orang melakukan konsumsi, kegiatan ekonomi produktif, menyebarkan informasi dan menjalani kehidupan itu sendiri. Hal ini berpengaruh terhadap banyak hal, mulai dari marketing, komunikasi publik, pelayanan jasa publik, leadership hingga pengelolaan ekonomi.
"Bahkan industri akan dan tengah dihantui oleh gejala kehilangan the main yang menjadi sumber pendatannya," katanya dalam peluncuran buku #MO.
Surat kabar adalah korban pertama ketika mereka kehilangan pendapatan dari penjualan koran dan iklan. Disusul televisi. Lalu airlines tak dapat tidup dari tiket. Demikian juga industri telekomunikasi tak dapat hidup dengan hanya mengandalkan pendapatan dari voice.
Inilah era #MO. Era yang membuat banyak teori-teori bisnis jadi usang, dan berbagai model bisnis tak lagi relevan. Banyak orang yang kebingungan. Dan yang pasti, era yang membuat banyak orang yang gagal paham. Termasuk, di kalangan akademisi yang masih berkutat dengan teori dan asumsi lama.
Mobilisasi
Salah satu ciri era MO adalah munculnya mobilisasi berbagai isu melalui media sosial dengan menggunakan tagar. Kemudian upaya mobilisasi meluas mulai dari gerakan 212, #SaveAudrey, #UninstallBukaLapak, #IceBucketChallenge, #MeToo, sampai Single’s Day yang menghasilkan ratusan triliun rupiah dalam sehari.
Dimulai dari hal-hal sepele, kemudian membesar hingga menciptakan gerakan mobilisasi yang diikuti banyak netizen. Ada satu-dua yang dampaknya positif. Namun banyak juga yang bersifat sebaliknya.
Upaya mobilisasi ini bisa berakibat gagalnya bangsa-bangsa melanjutkan pembangunan, bahkan kehilangan reputasi dan dukungan publik.
Rhenald mencontohkan mobilisasi ini pada kasus orangutan yang ditembak di Sumatera. Isu tersebut kemudian membesar dan bahkan menjadi “isu internasional” hingga muncul kampanye anti-minyak kelapa sawit (CPO) dari Indonesia oleh Uni Eropa.
Bisa jadi, yang terlibat dalam isu tersebut adalah anak-anak muda Indonesia. Namun hal itu kemudian ditangkap oleh Uni Eropa sebagai bahan untuk menghambat derasnya ekspor CPO Indonesia.
Contoh lainnya, adalah bagaimana netizen ramai-ramai menyuarakan “unistal Bukalapak” di medsos. Ini terjadi setelah si pendiri marketplace tersebut, Achmad Zaky menuliskan di akun Twitter-nya tentang rendahnya anggaran R&D di Indonesia dan harapannya terhadap Presiden baru (terpilih).
Cuitan itu direspons beragam oleh netizen melalui mekanisme sharing-shaping. Hingga akhirnya netizen termobilisasi dan melakukan kampanye melalui tagar #UnistalBukalapak.
Tentu banyak yang berkepentingan dengan kampanye tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan itu berusaha memanfaatkan isu yang sedang hangat dibahas netizen untuk mewujudkan kepentingannya.