Bencana karhutla juga bisa membuat inflasi di daerah tersebut meningkat. Hal itu dipicu terganggunya sistem transportasi sehingga menghambat supply barang dan jasa. Kondisi itu berdampak terhadap kenaikan harga barang-barang.
Selain itu, inflasi juga bisa dipengaruhi lonjakan harga tiket pesawat. Menurut Tauhid, maskapai penerbangan cukup terpukul karena turunnya frekuensi penerbangan akibat delay dan pembatalan penerbangan.
Nah, untuk mengompensasi hilangnya pendapatan dan kerugian selama karhutla maka terbuka peluang maskapai menaikkan harga tiket pesawat kepada konsumen mereka. “Tapi, memang sifatnya jangka pendek saja,” ujar Tauhid.
Potensi tersebut semakin besar jika karhutla terjadi secara berkepanjangan. Dari aspek lingkungan, bencana karhutla juga sangat merugikan.
Misalnya, terkait emisi CO2 (karbon dioksida) yang ditimbulkan sangat merugikan lingkungan. “Stok karbon, tutupan lahan dan sebagainya juga berdampak ke kesehatan dan lingkungan,” tuturnya.
Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia mengatakan, kebakaran hutan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Berdasarkan data Bank Dunia saat terjadi peristiwa kebakaran lahan besar-besaran pada 2015 lalu nilai kerugian pemerintah mencapai Rp 2,5 triliun.
Jumlah kerugian itu belum termasuk dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, terhentinya proses produksi, terganggunya kegiatan perdagangan dan transportasi, serta menurunnya nilai sumber daya di daerah terdampak.
Jika ditotal, estimasi kerugian karhutla 2015 membengkak hingga Rp 221 triliun.
Potensi kerugian
Lantaran skala bencananya hampir menyamai karhutla 2015, potensi kerugian yang ditimbulkan bencana karhutla tahun ini bisa saja mendekati angka Rp 200 triliun.
Kiki mencontohkan dari segi kesehatan masyarakat di daerah-daerah terdampak karhutla.
Menurut dia, jumlah penduduk di daerah terdampak bisa mencapai 30 juta–40 juta orang.
“Nah, itu sudah berapa kerugian dari sektor kesehatan karena terpapar infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA,” ujarnya.