TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tetap berjalan, meski program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih mengalami defisit.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Pemberdayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Kalsum Komaryani dalam acara Diskusi Media FMB 9 dengan topik "Tarif Iuran BPJS" yang diselenggarakan di Kantor Kemenkominfo, Jakarta Pusat, pada Senin (7/10/2019).
"Program JKN ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Maka dari itu kami akan terus memperbaikinya. Kami terus memantau rumah sakit untuk pembelian obat-obatan, alkes (alat-alat kesehatan), melakukan review kelas rumah sakit, dan pencegahan fraud," ungkap perempuan yang biasa disapa Yani ini.
Kemenkes sendiri menilai, kondisi defisit yang terjadi sejak 2014 ini menimbulkan efek domino.
Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan biaya kepada fasilitas kesehatan di tingkat pertama maupun tingkat lanjut, penyedia layanan obat dan alkes, yang berujung faskes tidak bisa melayani pengobatan untuk masyarakat.
"Salah satu upaya agar pelayanan kesehatan masyarakat tidak terganggu, Kemenkes dan BPJS melakukan financing supply chain agar pasokan obat dan alat-alat kesehatan tetap tersedia di fasilitas layanan kesehatan," jelas dia.
Ia menerangkan, selama ini pemerintah sudah membahas beberapa opsi dalam mengatasi defisit, seperti menaikkan iuran, mengurangi manfaat layanan kesehatan, serta memberikan subsidi kepada peserta tidak mampu dari alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
"Mengurangi manfaat layanan amat tidak mungkin karena masyarakat masih membutuhkan pelayanan. Apalagi BPJS Kesehatan mencakup semua penyakit dan sudah 233 juta kunjungan ke fasilitas kesehatan memakai BPJS," ungkap Yani.
BJPS Kesehatan mencatat defisit JKN tahun 2018, mencapai Rp18,3 triliun.
Sementara, proyeksi defisit 2019 dapat mencapai Rp 32 triliun.
Dana Siaga Rp 20 Triliun
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan, punya dana siaga atau standby loan pinjaman bank sebesar Rp 20 triliun untuk keperluan membayar tagihan rumah sakit (RS).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, dana siaga pinjaman yang diperoleh dari 21 bank masih cukup agar pelayanan RS tetap jalan.
"Pendanaan bank dari Rp 20 triliun, baru dipakai Rp 9 triliun. Masih ada ruang agar pelayanan (rumah sakit) tetap berjalan," ujarnya di Gedung Kominfo, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Skema yang dinamakan supply chain financing (SCF) tersebut dinilainya sebagai upaya penyelesaian yang bersifat jangka pendek saja.
Melalui skema yang telah dilaksanakan sejak tahun lalu ini, pembayaran klaim ditanggung dulu oleh bank kemudian dibayarkan BPJS Kesehatan.
Fahmi menambahkan, setiap keterlambatan klaim akan dikenakan denda sebesar 1 persen dari nilai tagihan pelayanan rumah sakit.
"Ada risiko itu kita laporkan ke Kementerian Keuangan potensi denda yang besar. Sementara, tagihan (rumah sakit) per September Rp 11 triliun," katanya.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan masih mencatatkan defisit sebesar Rp 7 triliun hingga Juni 2019. BPJS Kesehatan kesulitan melunasi tagihan-tagihan rumah sakit yang membuat lembaga ini terancam kena denda.
Pilihan Terakhir
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakan, penyesuaian iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan pilihan terakhir dalam mengatasi masalah defisit.
"Penyesuaian iuran ini adalah the last option yang disepakati dengan menteri keuangan, menteri kesehatan, dan menko PMK," ujar Mardiasmo saat menghadiri diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB), di kantor Kominfo, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (7/10/2019).
Mardiasmo melanjutkan, sebelumnya pemerintah telah melakukan sejumlah langkah untuk mengantisipasi defisit BPJS tersebut.
Pertama melakukan perbaikan sistem dan manajemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kedua, penguatan kerja sama dengan peran daerah.
"Baru dari dua review itu, selisihnya kita hitung, berapa penyesuaian tarifnya," kata dia.
Sejauh ini ia menilai, penyebab utama terjadinya defisit BPJS Kesehatan adalah banyaknya peserta yang masuk dari kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) atau yang biasa disebut sebagai kelompok mandiri.
Kebanyakan dari kelompok PBPU merupakan peserta yang mendaftar jika sakit dan kemudian lalai dalam melakukan pembayaran iuran, setelah mendapat pelayanan.
"Sebenarnya yang membuat bleeding itu PBPU 23 juta orang, yang lain itu tidak membuat bleeding. Nah inilah sumber BPJS defisit. Karena dia mendaftar pada saat sakit, setelah mendapat layanan kesehatan dia berhenti," jelas dia.
Selain itu, rendahnya tingkat keaktifan peserta dalam membayar iuran dan iuran yang masih underpriced atau di bawah hitungan yang sesungguhnya, juga menjadi menyebab defisit BPJS belum dapat teratasi.
Besaran penyesuian iuran BPJS yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial (DJSN) adalah Rp 42 ribu untuk kelas III, Rp 75 ribu untuk kelas II, dan Rp 120 ribu untuk kelas I.
Penyebab Defisit
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris menegaskan penyebab defisit makin bengkak, karena jumlah peserta terus meningkat hingga mencapai 222 juta jiwa.
Fahmi Idris mengatakan, jumlah peserta tersebut jadi yang terbanyak di dunia untuk kategori jaminan kesehatan.
"Nah yang buat persoalan defisit makin besar, karena peserta makin banyak sudah 222 juta. Ini jaminan sosial terbesar se-dunia dalam single paying system," ujarnya di Gedung Kominfo, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Baca: Tiga Tuntutan Aksi Buruh di 10 Provinsi, Salah Satunya Tolak Iuran BPJS Naik
Menurutnya, naiknya jumlah peserta dengan iuran tetap menimbulkan ruang besar antara pendapatan dan pengeluaran yang berujung defisit.
Fahmi menjelaskan, jalan keluar dari permasalahan ini cuma satu yakni dengan menaikkan iuran karena sejak 2016 sudah tidak sesuai berdasarkan hitungan aktuaria.
"Tidak ada jalan lain dengan menyesuaikan iuran. Pada 2016, kelas III non formal hitungan iuran dari aktuaria Rp 53.000, akhirnya diputuskan Rp 25.500, artinya sejak 2016 kita sudah diskon Rp 27.500," katanya.
Ia menambahkan, total pengeluaran BPJS Kesehatan pada 2018 sebesar Rp 98,5 triliun dan pendapatan Rp 79,2 triliun, sehingga ada defisit Rp 18,3 triliun.
Sementara, lanjut Fahmi, kalau tahun ini tidak melakukan penyesuaian apapun dan jumlah peserta bertambah maka berpotensi defisit bengkak jadi Rp 32 triliun.
"Peserta bertambah memang benar pendapatan bertambah, tapi pengeluaran juga bertambah, jadi kita hati-hati. Kalau iuran tidak naik maka defisit Rp 32 triliun," tuturnya.
Bisa Tembus Rp 77 Triliun
BPJS Kesehatan memprediksi lima tahun lagi defisit akan mencapai Rp 77 triliun, jika iuran tidak dinaikkan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, pemerintah melalui wacana kenaikan iuran ini mengajak masyarakat untuk saling membantu satu sama lain.
"Kalau (wacana) ini berhenti maka defisit Rp 77 triliun dalam 5 tahun kedepan. Kalau ingin berjalan, kita gotong royong, pemerintah juga tidak diam," ujarnya di Gedung Kominfo, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Menurutnya, wacana kenaikan iuran ini seolah menyeramkan, karena untuk kelas I akan naik 100 persen dari Rp 80 ribu jadi Rp 160 ribu.
"Naik dari rata-rata Rp 3 ribu per hari jadi Rp 5 ribu per hari. Namun, untuk masyarakat kelas I, II, dan III sama pelayanan mediknya, hanya beda fasilitas ruangan," katanya.
Fahmi menyampaikan, masyarakat yang berat dengan iuran kelas I dan II, bisa memilih yang paling murah yakni kelas III sebesar Rp 42 ribu.
"Kalau berat ada pilihan sekitar Rp 1.800 per hari. Ini pilihan untuk mereka yang mampu," tuturnya.
Ia menambahkan, pemerintah sudah meng-cover iuran masyarakat dari golongan tidak mampu hingga 133 juta jiwa, sehingga dinilainya tidak memberatkan.
"Sudah 133 juta dari program pusat dan daerah, pemerintah sudah hadir. Intinya tidak ada niat pemerintah beratkan masyarakat, kami tingkatkan semangat gotong royong," ujar Fahmi.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan BPJS Kesehatan berpotensi defisit Rp 32,8 triliun pada tahun ini.
Angka itu bisa ditekan menjadi Rp 14 triliun jika iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) naik Agustus 2019.
Gangguan Kesehatan Mental
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberi perlindungan bagi penderita gangguan kesehatan mental.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf menyatakan program JKN KIS mencakup pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk gangguan kesehatan mental.
Ia menambahkan, manfaat yang tidak dijamin secara tegas sudah dibunyikan pasal 52, Peraturan Presiden (Perpres) 82 tahun 2018.
“Penyakit kejiwaan yang secara medis sudah ditegakkan masuk dalam JKN KIS. Pelayanan kesehatan tetap sesuai prosedur pelayanan kesehatan berjenjang,” ujar Iqbal kepada Kontan.co.id Kamis (6/10).
Artinya peserta BPJS Kesehatan bisa mendapatkan pengobatan dan terapi gangguan kesehatan mental secara gratis. Tentu ada prosedur yang harus dilakukan guna mendapatkan manfaat tersebut.
Peserta harus mendatangi fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat pertama yakni puskesmas atau klinik setempat.
Bila kasusnya adalah gangguan kesehatan mental dan tak bisa diatasi di Faskes pertama, maka dokter akan memberikan rujukan ke rumahsakit umum maupun rumahsakit jiwa yang memiliki kompetensi kejiwaan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Bisa juga langsung mendatangi rumah sakit bila dalam kondisi darurat yang membuat pasien bisa cacat permanen.
“Manfaat medis yang diterima oleh peserta terkait gangguan kesehatan mental sama. Hal yang membedakan hanya manfaat non medis seperti kamar dan sebagainya, sesuai kelas ruang perawatan. Namun untuk orang dengan gangguan jiwa atau mental juga ditanggung oleh JKN KIS, tapi saat dirawat di rumahsakit jiwa tidak ada perbedaan kelas,” jelas Iqbal.
Baca: KSPI: Kenaikan Iuran BPJS Turunkan Daya Beli Buruh
Baca: BPJS Kesehatan Ganti 4,6 Juta Anggota Penerima Bantuan Iuran, Diberikan Kepada yang Membutuhkan
Iqbal menyatakan program JKN KIS untuk gangguan kesehatan mental sudah digunakan di seluruh Indonesia. JKS KIS juga sudah bekerjasama dengan seluruh rumahsakit jiwa di seluruh Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari manfaat yang diberikan oleh JKN KIS bagi penderita gangguan kesehatan jiwa.
“Makanya menjadi peserta JKN KIS, dengan bergotong royong membayar iuran. Semua warga termasuk penderita gangguan jiwa terjamin kesehatannya. Pada 2018 lalu biaya terkait jiwa senilai Rp 1,2 triliun. Untuk tahun ini, nilainya akan berbanding lurus dengan penambahan peserta,” tutur Iqbal.
Hingga September 2019, terdapat 221,2 juta peserta program JKN. Peserta tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah fasilitas kesehatan JKN yang sudah bekerja sama dengan program ini mencapai 27.315 fasilitas kesehatan per kuartal ketiga 2019.
Fasilitas kesehatan tersebut terdiri dari puskesmas, dokter praktek perorangan, dokter gigi, RS Kelas D Pratama, Klinik Utama, Apotik PRB dan Kronis, dan Optik.
Adapun besaran iuran bulanan yang harus dibayar peserta JKN-KIS bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5% dari gaji per bulan dengan ketentuan, 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% dibayar oleh peserta.
Sedangkan iuran bulanan bagi peserta mandiri sebesar Rp 25.500 untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. Senilai Rp 51.000 dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II. Sebesar Rp 80.000 dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: BPJS Kesehatan tanggung perawatan gangguan kesehatan jiwa