Pasalnya, Kalteng menjadi provinsi yang paling terdampak akibat sering berubahnya regulasi di tingkat pemerintah pusat. “Ini persoalan utama di Kalteng dan perlu diselesaikan segera agar masyarakat tidak terjebak seolah merusak hutan seperti yang saat ini dituduhkan sejumlah pihak,” kata dia.
Menurut Rawing, tumpang tindih regulasi telah mengakibatkan banyak konflik lahan. Sebagai contoh, jika mengacu pada perda 8 tahun 2003, sekitar 67% merupakan kawasan hutan. Sedangkan berdasarkan permenhut 529 tahun 2012 yang dikeluarkan belakangan menetapkan kawasan hutan mencapai 82%.
Padahal, tahun 2000-an, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan mengeluarkan aturan untuk Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Permukiman dan Pengembangan Lainnya (KPPL) tanpa perlu melakukan pelepasan kawasan hutan.
Namun, pada 2006, keluar aturan baru yang mewajibkan KPP dan KPPL harus mendapat pelepasan kawasan hutan. Di satu sisi, sudah banyak perkebunan yang terlanjur ditanam tanpa pelepasan, karena awalnya berpatokan pada aturan yang dikeluarkan tahun 2000.
”Karena muncul aturan baru, sehingga yang sudah terlanjur beraktivitas tanpa pelepasan ini jadi masuk kawasan hutan. Hal ini tidak bisa dihindari dan tentu karena aturan yang terbit belakangan
Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Penyelesaian sengketa di lahan perkebunan sawit harus menjadi prioritas pemerintah