TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelesaian konflik lahan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan mendesak dilakukan. Pasalnya, hal ini dianggap sebagai pemicu utama deforestasi.
Karakteristik penguasaan lahan di lokasi berbeda dan sejarah perubahan regulasi pemerintah juga perlu menjadi pertimbangan dalam menuntaskan sengketa.
Direktur SPOS Keragaman Hayati (Kehati) Irfan Bakhtiar mengatakan, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan untuk penyelesaian konflik ini. Bisa melalui tim terpadu rencana tata ruang di wilayah provinsi (RT/RWP) atau pun bisa berupa penataan sawit di kawasan hutan serta pendataan dan reformasi agraria melalui perhutanan sosial.
Baca: Debut Bella Shofie sebagai Desainer di JFW 2020
Baca: Pakai Jas dan Dasi, Maruf Amin Mengaku Dipuji Jokowi Lebih Muda
Bagi Irfan, pengakuan bahwa tanaman kelapa sawit merupakan tanaman hutan juga bisa menjadi opsi. Kendati harus disadari kebijakan ini rawan menghadapi pertentangan dari sejumlah kalangan.
"Namun semua pihak perlu bekerjasama untuk menuntaskan persoalan sekitar 3,47 juta hektare (ha) kebun yang ditenggarai berada di kawasan hutan," kata Irfan dalam diskusi Pojok Iklim, Rabu (23/10).
Ia menambahkan, konflik lahan sawit ini tak terlepas dari kebersihan tanaman ini mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berdampak pada pergeseran budidaya terhadap sejumlah komoditas.
Sebelumnya, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, Pemerintah tengah mengkaji beberapa opsi seperti pelepasan kawasan serta pemberian izin legal (land amnesty) untuk menyelesaikan sengketa 3,17 juta hektare kebun sawit.
“Kita masih diskusikan dengan banyak pakar hukum agar kedepan tidak menjadi persoalan baru dan dapat dibakukan dalam bentuk regulasi,” kata Prabianto.
Menurut Prabianto, dalam mengambil keputusan, pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah pada saat itu yang memungkinkan seseorang atau lembaga membangun kebun.
“Prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” kata dia.
Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan Sadino mengatakan, kebijakan izin satu daur penanaman sawit atau sekitar 35 tahun lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan pemutihan, land amnesty dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.
Kebijakan ini juga menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan. Selain praktis, kebijakan ini memberi kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.
”Selama bertahun-tahun, masyarakat dibuat bingung dan tidak nyaman dengan penyelesaian konflik lahan berlarut-larut. Padahal, sebagian besar izin diperoleh mengikuti prosedur UU melalui Pemerintah daerah. Sayangnya, izin-izin itu dengan mudah dipatahkan hanya melalui putusan Menteri yang sebenarnya telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Sadino.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang mengharapkan, pemerintah pusat perlu segera merampungkan regulasi yang konsisten terkait sengketa lahan sawit.