TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) mencatat, total konsumsi plastik di Indonesia adalah 5,76 juta ton per tahun dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 19,8 kg.
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi plastik di negara lain seperti Korea, Jerman, Jepang, serta Vietnam yang konsumsi per kapita masing-masing sebesar 141 kg, 95,8 kg, 69,2 kg, dan 42,1 kg.
Akan tetapi, Indonesia diklaim sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China.
Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono mengungkap hingga saat ini, pengelolaan sampah kita masih belum optimal.
Baca: Larangan Penggunaan Plastik Menunjukan Kurang Pahamnya Pemerintah Mengenai Sampah Plastik
Baca: Industri Sampah Plastik Mampu Pekerjakan Jutaan Masyarakat Indonesia
"Indonesia hanya 20 kilogram (konsumsi plastik per kapita per tahun) namun diklaim nomor dua sebagai penyumbang sampah plastik? Itu kan tidak wajar, bagaimana mungkin konsumsi rendah kita jadi pengotor lautan, jadi ini lebih disebabkan karena waste management (pengelolaan), kita masih belum optimal dan di luar negeri jauh lebih maju dibandingkan kita," jelas Fajar di Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Fajar mengatakan saat ini, tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia masih rendah, 45 persen sampah plastik tidak terkelola dari total sampah plastik sekitar 65 juta ton per tahun. Oleh karena itu, dia meminta agar pengelolaan sampah yang baik dan daur ulang terus ditingkatkan.
"Sampah-sampah kita itu kotor jadi perlu pengelolaan yang selanjutnya, karena itu akan lebih baik kalau sampah itu dipilah dari awal sehingga nanti proses selanjutnya lebih mudah dan waste rate kita tidak jauh (dengan negara maju)," tuturnya.
Sekjen Inaplas ini pun mengatakan bahwa plastik sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan dengan pengelolaan plastik yang benar, maka dapat menambah nilai keekonomian dalam sebuah negara.
"Mereka di luar negeri dengan konsumsi yang lebih tinggi dari kita. Mereka enggak punya masalah dengan isu-isu plastik. Waste management bahkan jadi komoditas yang bisa meningkatkan keekonomian suatu negara," papar Fajar.
Sementara itu Co Founder Digital Waste Solution (DWS), Ikatri Meynar Sihombing mengatakan masalah sampah merupakan isu krusial yang terus menerus menjadi musuh bagi lingkungan yang dihadapi dunia.
Hal itu sejalan dengan sistem pengelolaan sampah yang belum terintegrasi dan rendahnya peran korporasi, kesadaran perilaku masyarakat akan kebersihan lingkungan, diiringi dengan kelemahan implementasi kebijaksan serta penegakan hukum, sehingga hasil maksimal yang diharapkan belum tercapai.
"Sistem aplikasi DWS ini kami ciptakan untuk melakukan konsistensi komitmen Expanded Product Responsibility sebagai panduan bagi produsen untuk bergerak bersama mengurangi sampah kemasan hingga menciptakan circular economy serta aktif mendukung inisiatif besar pemerintah Indonesia sangatlah diharapkan," kata Ikatri.
Lebih lanjut, ia mengatakan DWS juga memperkuat komitmen kemitraan untuk membantu inisiatif besar pemerintah Indonesia dalam sistim pengelolaan sampah yang terintigrasi, keberlanjutan dan berbasis data industry 4.0 yang mengacu Perpres 97 tahun 2017.
"Membangun model kemitraan antara pemangku kepentingan kunci untuk mempercepat pelaksanaan Pengelolaan sampah terpadu yang diarahkan pada pendekatan circular economy yang keberlanjutan. Dari tahap pemilahan, pengumpulan dan pengangkutan hingga pengolahan pemrosesan sampah (proses thermal seperti hydro, pyrolysis, karbon dan non thermal seperti biodigester,komposter)," paparnya.
Ikatri menjelaskan sistem pengelolaan sampah ini perlu sinkronisasi dan penyederhanaan kebijakan peraturan terkait penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dimitrakan antara sektor swasta, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
"Meningkatkan langkah dan koordinasi multi sektor untuk pencapaian target pengurangan jumlah sampah hingga 30 persen pada tahun 2025 dan target pengelolaan sampah hingga 70 persen sesuai mandat Perpres No. 97 Tahun 2017," pungkas Ikatri.