TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Startup unicorn di Indonesia harus mengambil pelajaran dari kasus WeWork, platform penyedia ruang kerja.
Mereka terus membakar uang untuk promosi, namun hasilnya tak berdampak positif. Bukan hal yang salah untuk terus-menerus berekspansi.
Namun, unicorn harus juga lebih jeli dalam mengedepankan strategi inovasi dan keberlanjutan.
Gonjang-ganjing OVO beberapa waktu lalu juga jadi pelajaran penting. Bakar uang untuk promosi tak bisa lagi diandalkan.
Apalagi, di tahun depan ekonomi global diprediksi akan semakin bergejolak dan volatile di tengah dampak perang dagang yang tak kunjung reda.
Bahkan, jika tidak dibarengi kebijakan tepat, Indonesia bisa terkena dampaknya. Karena itu, perlu pendekatan dan inovasi dari para unicorn agar konsumen tetap loyal.
“Tahun depan memang besar kemungkinan ekonomi global melambat. Investor startup juga diperkirakan akan mengurangi bakar uang,” ujar Ekonom Piter Abdullah dalam keterangannya, Senin (2/12).
Kata Piter, investor tidak akan selamanya bakar uang. Ada waktu mereka melambat dan kemudian berhenti bakar uang.
Apalagi investor unicorn di Indonesia sudah cukup lama bakar uangnya. Kecuali, bila nanti ada unicorn baru dengan produk-produk baru, investor akan kembali bakar uang untuk promo.
Namun untuk unicorn yang sudah eksis, seperti Bukalapak, Tokopedia, OVO, dan lain-lain, strategi itu akan dikurangi. Karena itu, pengelolaan unicorn juga perlu profesional.
Apalagi, para investor yang menanamkan duit, sudah mulai menyinggung soal laba dan keuntungan bisnis.
“Mereka tetap investor profesional. Tujuan mereka tetap laba. Cuma cara mencari laba nya yang tidak lagi sama dengan pendekatan bisnis konvensional dan mengambil lebih banyak lagi risiko. Unicorn sejatinya adalah bisnis inovasi, terlepas dari kondisi ekonomi,” tegas Piter yang juga Direktur Riset Core Indonesia.
Dari kejadian WeWork, Unicorn bisa belajar banyak. Para investor pun akan belajar banyak untuk pengelolaan startup yang mereka danai.
Sehingga, akan ada evaluasi dan penekanan terhadap perusahaan yang didanai agar lebih efisien dan tidak bakar-bakar uang lagi.
Karena itu, Unicorn Indonesia dapat meniru profesionalisme Alibaba dalam melakukan scale-up, meningkatkan efisiensi, dan menghasilkan keuntungan. Alibaba berhasil melakukan semua ini meskipun baru saja ditinggal pendirinya, Jack Ma.
Teranyar, perusahaan bervaluasi Rp2.000 triliun itu telah melakukan pencatatan perdana di bursa saham Hong Kong dan berhasil menghimpun dana sebesar US$ 11,3 miliar. Pada hari pertama perdagangannya, harga saham Alibaba melesat naik lebih dari 6%.
Apa yang diraih Alibaba, dikarenakan manajemen memiliki visi yang sangat jelas dan kemudian dieksekusi dengan sangat baik. Alibaba juga tidak bergantung pada figur, namun pada kepemimpinan manajerial kolektif yang profesional.
Seluruh rangkaian keberhasilan manajemen Alibaba ini menciptakan track record yang membuat mereka sangat dipercaya. Kepercayaan ini selanjutnya berpengaruh kepada pihak eksternal yang kemudian meyakini apa pun yang dilakukan oleh Alibaba akan berhasil.
Di sisi lain, faktor kepemimpinan selalu berperan di organisasi khususnya di sebuah perusahaan. Pemimpin yang baik tidak saja mampu memaksimalkan pemanfaatan semua resources organisasi, tapi mempersiapkan sistem agar organisasi menjadi tidak bergantung kepada satu orang pemimpin saja.
Termasuk juga, mempersiapkan suksesi yang menjamin tidak terputusnya kepemimpinan yang baik di organisasi, seperti Alibaba.
Indonesia sudah punya beberapa unicorn dan satu decacorn. Didukung oleh pasar yang lumayan besar dan bergairah, Indonesia akan mampu menciptakan raksasa-raksasa perusahaan digital selanjutnya.
Syaratnya, dukungan environment yang kondusif yang harus diciptakan oleh otoritas atau pemerintah, di samping budaya organisasi startup yang harus juga profesional.
Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Hadapi 2020, Unicorn Indonesia dituntut makin profesional