Jadi, lanjut Aryo, pihaknya sekali lagi menegaskan bahwa konsumen yang beralih ke produk tembakau alternatif bukan semata-mata karena faktor harga, melainkan karena esensi dari kehadiran produk tembakau alternatif ini adalah untuk membantu para perokok yang ingin berhenti merokok secara bertahap.
Dimasz Jeremia, Pembina Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) mengamini pernyataan Aryo. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang dalam mengeluarkan regulasi untuk industri ini agar dapat memberikan kepastian usaha yang kondusif.
Baca Juga: Asosiasi petani tembakau sebut industri rokok elektrik dapat membantu petani tembakau
“Menurut kami, aturan Pemerintah harus selalu memperhatikan pengembangan inovasi di industri tembakau alternatif. Kepastian usaha salah satunya dapat dituangkan dalam bentuk tidak ada kenaikan cukai dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan untuk kategori HPTL sampai akhirnya industri ini benar-benar berkembang.”
Lanjutnya lagi, saat ini ada sekitar ratusan produsen baik cairan nikotin, device dan aksesoris yang terlibat dalam industri ini. Di samping itu juga ada ribuan pengecer yang berkecimpung dalam industri produk kategori HPTL.
Berdasarkan data APVI, estimasi retailer vape di Indonesia mencapai 3.500 store. Mayoritas store terpusat di Jawa dengan jumlah 2.300 toko, sementara sisanya berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.
"Era industri 4.0 mutlak mendorong terciptanya peluang positif bagi ekonomi, oleh karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk mendorong kreativitas pelaku usaha termasuk industri tembakau alternatif agar berkembang dan menghasilkan produk yang memiliki potensi dan manfaat bagi masyarakat.” tutup Dimasz. (Handoyo)
Artikel ini telah muat di Konta.co.id dengan judul: Penjualan rokok elektrik belum terdampak mahalnya harga rokok konvensional