Tak hanya itu, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik dari sektor riil, pariwisata, pertambangan, pertanian, perikanan, maupun sumber daya manusia termasuk TKI di luar negeri.
Namun, posisi strategis Indonesia di poros maritim dunia belum dimanfaatkan maksimal.
Perhatian pemerintah terhadap sektor maritim sangat minim dan justru dibebani banyak biaya, seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP) angkutan antarpulau naik hingga 1.000%.
“Karena Indonesia negara kepulauan, berbagai beban tambahan di sektor maritim itu akhirnya meningkatkan ongkos logistik antarpulau,” ujarnya.
Berdayakan UMKM
Bambang Haryo mengatakan, ekonomi seharusnya bisa tumbuh pesat apabila pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat serta memberdayakan UMKM dan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Namun kepedulian terhadap UMKM dipertanyakan setelah anggaran Kementerian Koperasi dan UKM dipangkas hampir separuh dari pemerintahan sebelumnya menjadi hanya Rp970 miliar pada 2020.
Bambang Haryo menegaskan, dinamika global merupakan keniscayaan dan dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan pemerintah adalah membenahi masalah domestik dan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Dinamika global, seperti perang dagang AS-China dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), justru bisa memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional apabila pemerintah jeli.
“Negara-negara lain di Asia Tenggara bisa mendapat manfaat dari dinamika global itu sehingga pertumbuhan ekonomi mereka naik, mengapa Indonesia tidak bisa,” kata Bambang Haryo.
Berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, negara-negara di Asia Tenggara yang mampu tumbuh di atas 6% pada 2019, yakni Vietnam 6,97%, Kamboja 7%, Filipina 6,5%, Myanmar 6,6%, dan Laos 6,5%.