TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) berharap agar Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Bogor dievaluasi secara menyeluruh lantaran Perda ini berseberangan dengan PP 109 Tahun 2012 Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
"PP 109 Tahun 2012 seharusnya bisa dijalankan dengan baik. Jadi, jangan membuat peraturan yang eksesif melebihi aturan di atasnya. Kalau sudah jadi preseden buruk, malah lebih ramai lagi,” jelas Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti dalam keterangan pers tertulis, Senin (17/2/2020).
Moefti menegaskan pabrikan rokok anggota Gaprindo selama ini taat pada peraturan Pemerintah. Untuk itu, Perda KTR Bogor diharapkan tidak terlalu keras agar tidak menimbulkan ketidakpastian usaha.
“Iklan rokok di KTR sebaiknya dibolehkan dan rokok juga masih bisa dipajang karena rokok itu barang legal,” katanya.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi daerah (KPPOD) dalam hasil kajiannya menyatakan Perda ini bermasalah karenasecara substansif bertentangan dengan PP 109/2012.
Baca: Skandal Manipulasi Keuangan Mengguncang Manchester City, Begini Kronologinya
Sebelumnya, Perda Nomor 10/2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) di Kota Bogor menuai kontroversi setelah sejumlah pedagang tradisional wilayah Bogor mengajukan gugatan melalui uji meteriil (judicial review) perda tersebut.
Baca: Survei Indo Barometer: Prabowo Menteri Paling Paling Dikenal Publik di Kabinet Jokowi
Gugatan diajukan lantan Perda ini dinilai bertolak belakang dengan peraturan di atasnya yakni PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Baca: Kisah Ningsih Tinampi, Dukun Terapi Asal Pandaan, Pasuruan, yang Mendadak Viral
Moefti mengingatkan, mengacu pada PP 109/2012, jual-beli rokok merupakan usaha yang legal kegiatannya, promosinya, iklannya dan produksinya.
Hal ini disepakati kembali dalam kesepakatan non litigasi yang difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam PP 109/2012, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di lokasi penjualan, sementara Perda KTR Bogor tidak selaras dengan poin tersebut.
Sejatinya, aturan KTR dibuat untuk “membatasi” bukan “melarang”. Pasalnya, saat ini tidak ada undang-undang dan peraturan pemerintah yang melarang keberadaan produk rokok dan iklan rokok.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) R. Gani Muhamad menilai proses judicial review Perda KTR Bogor di Mahkamah Agung (MA) sebagai langkah tepat.
“Secara yuridis ini merupakan hak setiap orang untuk menggugat produk hukum daerah khususnya perda,” ujarnya.
“Kalau ada pasal-pasal yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, itu harus bisa dibuktikan,” ujar Gani. Dia berpendapat, jika ada pihak-pihak yang keberatan atau dirugikan karena perda tersebut, isi pasal yang bermasalah itu layak untuk diuji kembali.
Jika kelak diputuskan bahwa Perda tersebut keliru, pemerintah daerah harus mengikuti dan melaksanakan keputusan MA.