Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran DPR MH Said Abdullah meminta pemerintah mengubah skema impor pangan dari sistem kuota menjadi impor dengan model pengenaan tarif.
Menurutnya, kebijakan impor dengan sistem kuota syarat dengan upaya memburu rente. Sedangkan, dengan model pengenaan tarif, negara lebih banyak untungnya.
Bahkan kebijakan tarif tidak memungkinkan adanya selisih harga yang tinggi antara negara asal impor dan dalam negeri, sehingga meminimalisir praktik suap.
Baca: UPDATE Daftar Nama 4 Korban Meninggal Siswa SMPN 1 Turi Sleman yang Hanyut di Sungai Sempor DIY
Baca: Kapal Pesiar Jepang Diamond Princess Hentikan Layanan 23 Februari, Penumpang Sehat Di-Hotel-kan
Baca: Timo Tjahjanto Sebut Film Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 Lebih Menyenangkan dari yang Pertama
“Para pelaku impor juga lebih terbuka, karena memungkinkan banyak pihak jadi importir, sebab asal bisa memenuhi pembayaran tarif dan keekonomian barang didalam negeri masih memungkinkan,” ujar Said, Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Ia menilai, kebijakan tarif impor secara internasional meminimalisir perselisihan di meja World Trade Organization (WTO) asal pengenaan kebijakan tarif transparan dan mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 7 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan WTO.
“Konsekuensinya, Indonesia terikat dengan kesepakatan-kesepakatan dalam WTO,” ucapnya.
Dia mengaku, kebijakan impor lumrah dalam interaksi perdagangan antar negara.
Namun, dalam kebijakan impor yang ditujukan menyeimbangkan supply and demand justru berubah menjadi ruang berburu rente, permainan kartel dan perselisihan internasional.
Bahkan dalam prinsip perdagangan bebas (free trade), kuota impor dianggap sebagai kebijakan haram.
WTO menganggap kuota impor sebagai kebijakan proteksionis terhadap barang-barang di dalam negeri, dan dianggap diskirimasi terhadap barang-barang negara lain.
Sebab terkait kualifikasi, jumlah, dan kebijakan pendukungnya tidak mengacu pada standar perdagangan internasional, akan tetapi keputusan sepihak pejabat negara pengimpor.
“Kita sering mendengar berbagai kasus hukum yang muncul akibat kuota impor barang. Biasanya kebijakan impor barang, khususnya pangan, terjadi selisih harga yang cukup tinggi antara didalam negeri dan luar negeri,” ujar Said.
“Jadi sesungguhnya kebijakan impor dengan sistem kuota tidak sebenar-benarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri, akan tetapi lebih ditujukan untuk berburu rente para pejabat,” sambungnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini menuturkan, modus yang seringkali terjadi para kartel menghentikan sementara pasokan (supply) dengan cara menimbun.
Akibatnya terjadi kelangkaan barang dan harga di pasar tinggi. Alhasil, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan harga, sementara cadangan pangan milik pemerintah yang ada di Bulog tidak memadai.
Konseuensinya pemerintah harus membuka kran impor, yang dalam prosesnya juga tidak bisa lepas dari campur tangan kartel.
“Saya kira, kebijakan impor barang harus dibenahi, khususnya pangan kedepan lebih baik. Hal ini penting agar kedepan tidak menimbulkan perselisihan di WTO, tidak korup dan yang lebih penting lagi menjadi daya topang tumbuh kembang perekonomian dalam negeri secara berkelanjutan,” paparnya.