"Pada saat yang sama, kami akan bekerja dengan negara-negara berkembang anggota lain untuk menegakkan hak-hak dasar kami dan menyuarakan suara bersama kami, sekaligus melindungi kepentingan pembangunan kami," katanya lagi.
AS mengklaim bahwa aturan status negara di WTO ini banyak dimanfaatkan negara-negara tertentu. Menurut AS, China memanfaatkan celah untuk menyubsidi industrinya dan perusahaan BUMN mereka.
Selain itu, karena statusnya itu, membuat China bisa membuat aturan yang memaksa investor asing untuk memindahkan teknologinya ke China. Hal itu, diklaim Washington, dinilai sebagai tindakan pencurian kekayaan intelektual.
Dalam Boao Forum di Hainan, mantan Gubernur Bank Sentral China Zhou Ziaochuan, mengakui kalau beberapa kritikan AS itu bisa dibenarkan.
Namun kata dia, ada beberapa kesalah pahaman dari anggota WTO mengenai penerapan keistimewaan negara berkembang di organisasi itu.
"Kami secara substansil telah mengurangi distorsi pasar dan subsidi yang tidak masuk akal. Tapi ini adalah proses transformasi, perlu waktu bertahun-tahun, sehingga sejumlah distorsi itu akan tetap ada," kata Zhou dalam forum tersebut.
"Pemerintah China ingin proses reformasi untuk menghilangkan distorsi ini dipercepat, sehingga kritik (AS) akan hilang. (Kritik) itu mungkin disebabkan oleh kesalahpahaman saja," tambahnya.
China sendiri tak sendiri melawan AS yang menuntut perubahan status di WTO.
Negeri Tirai Bambu itu bersama-sama dengan Afrika Selatan, India, dan Venezuela berjuang mementahkan proposal AS di WTO itu.
Keempat negara itu mengirimkan draf ke WTO yang berisi klarifikasi kalau status anggota sebagai negara berkembang telah menjadi praktik yang sudah berlangsung lama dan sudah diterapkan dengan baik di anggota-anggota WTO.
Selain itu, draf dari empat negara itu juga menyinggung kalau negara-negara maju selama ini juga diuntungkan aturan WTO seperti dukungan subsidi pertanian, kuota tekstil, dan perlindungan kekayaan hak intelektual.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "China Saja Pernah Menolak Dicoret sebagai Negara Berkembang"