News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Omnibus Law Cipta Kerja

Kemnaker Sosialisasi Omnibus Law kepada Pekerja Kreatif, Kaum Milenial Hingga Kalangan Hijaber

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kementerian Ketenagakerjaan melakukan sosialisasi Omnibus Law secara masif dan terstruktur kepada kalangan pekerja di Indonesia, termasuk pekerja kreatif dan content creator yang didominasi oleh kalangan milenial, dan pengusaha muda kalangan ibu-ibu hijaber.

Salah satu langkah konkret untuk mengatasi pengangguran adalah dengan membuat situasi yang kondusif untuk investasi dengan menyinkronkan pasal-pasal perundang-undangan yang kontradiktif dengan menggunakan metode omnibus.

Termasuk di dalam penggabungan undang-undang sejenis itu, kata Agata, bagaimana menjawab perkembangan teknologi yang menghilangkan peran tenaga kerja manusia secara massif.

Menurut Agatha, ada tiga hal yang harus dilindungi terkait tenaga kerja: Pertama, sudah lulus tapi belum dapat pekerjaan, ini masuk program Kartu Pra Kerja.

Kedua, yang sudah bekerja dan harus dijaga, ketiga, yang di-PHK, dan harus dilindungi hak-haknya.

"Mereka yang menolak Omnibus Law karena mendapat informasi tidak utuh. Selain memangkas kontradiksi, Omnibus Law Cipta Kerja mengatur perlindungan tenaga kerja yang belum diatur di Undang-undang nomor 13 tahun 2003," kata Agata menjawab pertanyaan Jessica, salah satu dari sekitar 120 orang peserta diskusi.

Baca: Pemain Chelsea, Callum Hudson-Odoi Terjangkit Virus Corona

Baca: Khawatir Virus Corona, Tempat Hiburan Paling Populer di AS Broadway Ditutup

Ketentuan jam kerja 7 jam untuk 6 hari kerja, kata Agata, itu belum terakomodasi dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Teman-teman yang bekerja di sektor kreatif secara upah lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, namun mereka belum mendapatkan perlindungan dari Undang-undang," kata Agata.

"Kami yang menjadi pelaku dunia kreatif, bekerja tidak seperti pekerja konvensional. Menggarap pekerjaan yang butuh penyelesaian cepat di kafe, saat kongko minum kopi. Kalau di kantor, malah tidak kelar. Bekerja paruh waktu lebih tepat dengan pendekatan seperti itu, tapi maksimal, dan sebagai pengelola kami berani membayar lebih besar dibandingkan pekerjaan konvensional," jelas Edy.

Terkait kerja paruh waktu, yang berperan besar menggerakkan perekonomian, Agatha mengatakan jam kerja paling lama 8 jam.

"Ini memberikan ruang bagi pekerja kreatif untuk membuat kesepakatan jam bekerja kurang dari 8 jam," ujarnya.

Perhitungan jaminan sosial jika bekerja kurang dari 8 jam dalam 5 hari kerja, lanjut Agatha, merupakan persoalan yang ingin disesuaikan dan atur dalam Omnibus Law.

Lalu bagaimana dengan pasal-pasal dalam Undang-undang yang tidak diutak-atik dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja?

Menurut Agatha, pasal-pasal tersebut dengan sendirinya tetap berlaku. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini