Nicolas Manafe/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, meminta pemerintah dan manajemen Garuda Indonesia berhati-hati menetapkan solusi untuk menyelamatkan maskapai kebanggaan Indonesia tersebut.
Menurut Deddy, kondisi Garuda Indonesia bisa semakin buruk karena dihantam dampak pandemi Covid-19 dan besarnya beban operasional dan utang yang harus dibayar.
Deddy menyampaikan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama anggota DPR, Rabu (29/4/2020), Direksi Garuda Indonesia menyampaikan kesulitan melangsungan hidup perusahaan.
Penyebabnya adalah operasi yang terkendala pandemi Covid-19, biaya operasional tinggi, serta utang SUKUK yang jatuh tempo awal Juni 2020.
“Direksi memang bisa menjabarkan strategi perusahaan untuk memotong ongkos produksi, tapi ini efeknya jangka panjang. Garuda Indonesia perlu darah (fresh fund) saat ini untuk menambal biaya operasional harian dan untuk melunasi utang SUKUK,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis, Sabtu (2/4/2020).
Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyampaikan, berdasarkan keterangan direksi Garuda Indonesia, operasional tertinggi adalah biaya sewa pesawat.
Cara yang mungkin ditempuh untuk mengurangi beban itu adalah negosiasi ulang dengan lessor (aircraft leasing company), mengembalikan sebagian pesawat dengan utilisasi rendah, atau menjual pesawat yang tidak cocok untuk pasar Indonesia.
“Lalu bagaimana dengan biaya kelangsungan hidup Garuda sampai akhir tahun ini, ketika operasi masih belum pulih karena pandemi Covid-19? Bagaimana dengan pembayaran utang SUKUK yang jatuh tempo? Bukankah dua hal ini bisa mematikan Garuda dalam seketika?” ujar Deddy.
Deddy lalu menjabarkan tiga opsi yang disiapkan direksi Garuda untuk melunasi utang SUKUK yang jatuh tempo awal Juni 2020.
Pertama, mencari pinjaman dari bank (terutama bank pelat merah) untuk membayar SUKUK; kedua, memperpanjang jatuh tempo SUKUK; dan ketiga, membayar SUKUK dengan diskon.
Menurut Deddy, opsi paling rasional yang bisa ditempuh Garuda Indonesia adalah mencari pinjaman dari bank BUMN untuk membayar SUKUK. Karena reputasi dan rating credit Garuda akan anjlok, serta biayanya tinggi jika menempuh perpanjangan jatuh tempo SUKUK.
Selain itu, opsi memperpanjang jatuh tempo biasanya memerlukan jaminan dari pemerintah, dan bondholder juga harus melakukan rapat pemegang bond yang saat ini sangat sulit dilakukan.
“Belum tentu juga pemegang SUKUK (bondholders) mau memperpanjang waktu pembayaran. Jika langkah ini dilakukan pasti akan cross impact ke BUMN lainnya, rupiah, dan tentunya pemerintah,” ungkap wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.
Mengenai opsi membayar SUKUK dengan diskon seperti yang disampaikan direksi Garuda Indonesia, Deddy meragukan hal itu bisa tercapai.
Pasalnya, tidak ada emiten SUKUK yang bisa membayar SUKUK dengan diskon.
“Mana mungkin bisa membayar SUKUK dengan harga diskon?” ungkap Deddy.
Kecuali, ungkap Deddy, jika SUKUK itu dijual di pasar sekondari dengan nilai diskon, itupun hanya bisa ditentukan bondholder, melalui mekanisme rapat pemegang bond, bukan ditentukan Garuda Indonesia.
Selain itu, nilai diskon juga berpengaruh terhadap reputasi Garuda.
“Jika diskon mencapai 60-70 persen bisa dikategorikan Garuda gagal bayar SUKUK,” kata Deddy.
“Jika pun terpaksa, Garuda harus bisa membawa calon buyer dari SUKUK tersebut. Di sini Garuda harus transparan siapa calon buyer tersebut dan harus dibuka juga apa kolerasi dan interest mereka dengan Garuda. Harus terang benderang,” sambung dia.
Saat memilih opsi mencari pincaman dari bank pelat merah, lanjut Deddy, harus diantisipasi jangan sampai menjadi biaya tinggi bagi Garuda Indonesia (financing cost) dan risiko tinggi bagi bank pelat merah serta masih tetap diperlukan jaminan pemerintah.
“Manajemen Garuda dan Kementerian BUMN harus sangat hati-hati mencari solusi masalah ini. Banyak risiko yang bisa mengganggu likuiditas bank pelat merah, bisa merusak reputasi Garuda bahkan BUMN lain, dan bisa merusak rupiah bahkan kredibilitas negara,” ungkap Deddy.