TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah Korea Selatan memasuki resesi ekonomi menyusul Singapura, Indonesia disebut rentan memasuki jurang yang sama jika mencatat penyusutan pertumbuhan pada akhir kuartal ketiga, atau bulan September, di tengah kontraksi akibat pandemi Covid-19.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia menyusut 'sangat dalam' pada kuartal kedua, yakni diperkirakan minus 4,3%.
Pemerintah kini tengah menggencarkan upaya mendongkrak ekonomi demi menghindari resesi.
Pakar ekonomi mengatakan masuknya Korea Selatan dan Singapura dalam resesi menjadi indikator bahwa Indonesia juga akan mengalami nasib yang sama, mengingat kedua negara tersebut merupakan mitra-mitra perdagangan yang cukup besar.
Baca: Ancaman Resesi, Legislator PKS Minta Pemerintah Cegah Gelombang PHK dan Kemiskinan
Meski demikian, dampak yang dialami Indonesia kemungkinan tidak akan sedalam kedua negara tersebut jika mampu mendorong laju perekonomian domestik.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan selain berperan sebagai mitra perdagangan penting, Korea Selatan dan Singapura juga memiliki kontribusi yang cukup besar dari segi penanaman modal asing untuk Indonesia.
Padahal modal asing pun sudah mengalami penurunan pada April hingga Juni, kata Bhima.
Menurut data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asing untuk kuartal kedua 2020 melambat sebesar 6,9% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu.
Sementara itu, Bhima juga sebut bahwa perlambatan juga terjadi dalam kinerja domestik.
"Kita melihat juga adanya kecenderungan konsumen untuk menahan belanja, lebih banyak melakukan saving. Kemudian dari sisi kinerja industry manufaktur itu juga melemah, ditunjukkan oleh PMI, atau Purchasing Managers' Index manufaktur itu berada di bawah angka 50, artinya industri cenderung tidak melakukan ekspansi, menahan diri," tutur Bhima via telepon, Minggu (26/07).
Resesi ekonomi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi minus, atau berada di bawah 0%, selama dua kuartal berturut-turut.
Kementerian Keuangan memperkirakan penurunan yang terjadi pada kuartal kedua, yaitu periode April hingga Juni, berada di minus 4,3%.
Bhima memprediksi kondisi yang serupa akan berlanjut pada kuartal berikutnya.
"Jadi resesi kemungkinan besar kita masuk pada kuartal ketiga 2020, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi minus 2-3%, secara year-on-year. Jadi itu nanti akan mengkonfirmasi kita akan masuk dalam resesi ekonomi," kata Bhima.
Bagaimana upaya pemerintah?
Pemerintah mengaku telah menyiapkan langkah untuk mengantisipasi resesi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa pemerintah akan memfokuskan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada kuartal ketiga dan keempat demi mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat.
"Jadi memang kalau kita lihat tanda-tandanya di Q2 itu memang sangat dalam. Sejauh ini, Kementerian Keuangan memprediksi itu berada di minus 4,3%," kata Febrio melalui telepon, Minggu (26/07).
Namun, ia menyebutkan bahwa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak pertengahan Juni telah mulai mendorong aktivitas perekonomian, di antaranya melalui peningkatan mobilitas dan permintaan kredit modal kerja di perbankan.
Febrio mengatakan pihaknya melihat bahwa ada peluang untuk mengembalikan laju perkembangan perekonomian tahun ini dan keluar dari zona minus, terutama melalui program pemulihan.
"Kita ingin push lebih banyak di Q3, karena kita ingin menghindari pertumbuhan yang negatif di Q3. Karena bukan semata-mata untuk pertumbuhannya positif atau negatif, tapi memang perlambatan ekonomi, yang biasanya [tumbuh] 5%, sekarang kalau untuk tahun ini kita sedang berusaha untuk berada di sekitar 0% atau positif persen," ujar Febrio.
Di antaranya, jelas Febrio, adalah dengan menunjang konsumsi masyarakat, terutama untuk kelompok yang paling rentan.
"Sudah banyak yang jalan. Mulai dari pertama kita bagi dari sisi rumah tangga, itu program perlindungan sosial Rp203 triliun. Itu sampai akhir tahun itu bayarnya bulanan, jadi sampai akahir tahun itu akan habis. Sejauh ini capaiannnya itu sudah 40%," kata Febrio.
Ia menambahkah bahwa upaya pemerintah juga tertuju pada sektor produksi yang paling rentan, yaitu sektor informal, serta sektor usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) secara keseluruhan.
"Program-program pemulihan ekonominya itu diarahkan kesana, mulai dari subsidi bunga, lalu OJK memberikan restrukturisasi bagi mereka, jadi bisa menunda pembayarannya. Lalu, pemerintah, sudah satu bulan ini melakukan penjaminan kredit modal kerja untuk UMKM. Dalam satu bulan sudah ada Rp 31 triliun yang masuk dalam pipeline untuk kredit modal kerja, mayoritas untuk UMKM.
"Di samping itu pemerintah juga melakukan penempatan dana di perbankan, penempatan dana murah - itu bunganya 3,4%. Jadi perbankan bisa menyalurkan dana itu, lalu dijamin juga oleh pemerintah," tutur Febrio.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai perlunya evaluasi stimulus-stimulus yang ada karena pelaksanaannya belum efektif.
"Sekarang yang diandalkan satu-satunya adalah belanja pemerintah. Maka dengan tesis itu, yang perlu adalah bagaimana realisasi stimulus kesehatan, stimulus UMKM dan juga stimulus dunia usaha, bantuan sosial itu juga, setidaknya di kuartal ketiga mengharapkan 80% lebih penyerapannya," kata Bhima.
Apakah akan seburuk Korea Selatan dan Singapura?
Jika Indonesia akhirnya memasuki resesi, Bhima sebut tidak akan terjadi pada tingkat yang sama seperti Korea Selatan dan Singapura, karena kedua negara itu lebih bergantung pada perekonomian internasional, termasuk dari segi kapitalisasi pasar saham terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Merujuk pada data Bank Dunia 2019, Bhima mengatakan Indonesia memiliki porsi yang jauh lebih kecil dalam bidang kapitalisasi pasar saham terdahap PDB dibandingkan beberapa negara di wilayah Asia, misalnya Singapura yang berada di 187,4%, Korea Selatan 82,2%, sementara Indonesia hanya di 46,8% .
"Artinya mereka lebih sensitif terkena imbas dari resesi secara global, dibandingkan Indonesia, yang porsinya yang relatif masih kecil," kata Bhima.
Ia menambahkan bahwa di dalam negeri, sektor yang mengalami dampak paling parah adalah sektor pariwisata, termasuk hotel dan restoran, karena adanya tekanan dari sisi kesehatan sejak kuartal pertama dan kedua akibat pandemi. Selebihnya, juga termasuk sektor transportasi, perdagangan, industri manufaktur dan sektor pertanian.
Baca: Ekonom Ini Sebut Indonesia Terancam Resesi, PHK dan Kemiskinan Bakal Meningkat
Namun sektor-sektor andalan untuk menggerakkan roda perekonomian masih kesulitan untuk bangkit, termasuk sektor pariwisata.
Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengungkap kondisi pada industri yang ia naungi itu tidak akan pulih dalam waktu dekat, tanpa kebijakan-kebijakan yang dapat membantu meningkatkan mobilitas dan konsumsi masyarakat.
Salah satunya, ia sebut, adalah dengan stimulus baik bagi pihak konsumen maupun pelaku usaha.