TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang HUT ke-75 RI, Indonesia mencatat peningkatan utang luar negeri. Angkanya mencapai 408,6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekira Rp 6.047 triliun (kurs 14.800 per dollar AS).
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, utang ini terdiri dari sektor publik atau pemerintah dan Bank Sentral sebesar 199,3 miliar dolar AS dan utang luar negeri sektor swasta, termasuk BUMN senilai 209,3 miliar dolar AS.
"ULN Indonesia tersebut tumbuh 5 persen dibanding periode sama tahun lalu (year on year/yoy). Lebih tinggi juga dibanding pertumbuhan kuartal I 2020 sebesar 0,6 persen (yoy)," ujarnya, Jumat (14/8/2020).
Onny menjelaskan, peningkatan utang tersebut disebabkan oleh transaksi penarikan netto utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta.
Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi terhadap peningkatan nilai utang luar negeri berdenominasi rupiah.
Baca: BI Catat Utang Luar Negeri Swasta Melambat, Berikut Sebarannya
"ULN pemerintah mencatat peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Posisi ULN Pemerintah pada akhir kuartal II 2020 tercatat sebesar 196,5 miliar dolar AS atau tumbuh 2,1 persen (yoy). Sedangkan, pada kuartal sebelumnya mengalami kontraksi 3,6 persen (yoy)," kata Onny.
Peningkatan utang luar negeri pemerintah, lanjutnya, terjadi seiring penerbitan sukuk global untuk memenuhi target pembiayaan, termasuk satu seri green sukuk untuk mendukung pembiayaan perubahan iklim.
Sementara itu, Onny menambahkan, ULN swasta juga mengalami peningkatan dibandingkan kuartal sebelumnya yakni tumbuh 8,2 persen pada kuartal II (yoy).
"Pertumbuhan itu lebih tinggi dibanding dengan kuartal sebelumnya sebesar 4,7 persen (yoy). Perkembangan ini disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan, sedangkan ULN lembaga keuangan tercatat kontraksi," ujarnya.
Bank Indonesia (BI) menyatakan, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal II 2020 sebesar 37,3 persen.
Onny Widjanarko mengatakan, angka itu meningkat dibandingkan dengan rasio pada kuartal sebelumnya sebesar 34,5 persen.
"Meskipun meningkat, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 89 persen dari total ULN," ujarnya.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, kata Onny, Bank Indonesia dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
"Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," katanya.
Disisi lain, ULN pemerintah tetap dikelola secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas, di antaranya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 23,5 persen dari total ULN pemerintah, serta sektor konstruksi 16,4 persen.
Baca: Naik Terus, Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp 5.600 Triliun Lebih
Selain itu, sektor jasa pendidikan 16,3 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 12,4 persen, serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,7 persen.
Kemudian pada akhir kuartal II 2020, utang luar negeri perusahaan bukan lembaga keuangan melesat menjadi 11,4 persen pada kuartal II 2020 dibanding periode sama tahun lalu (year on year/yoy).
Sementara, dia menambahkan, utang luar negeri lembaga keuangan terkontraksi 1,7 persen pada kuartal II 2020 (yoy), lebih rendah dari kontraksi 2,4 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya.
Adapun, beberapa sektor dengan pangsa utang luar negeri terbesar yakni mencapai 77,3 persen dari total utang luar negeri swasta adalah sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara dingin (LGA), sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan.
"Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya," ujar Onny.
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pemerintah memutuskan untuk melonggarkan kebijakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 menjadi 5,5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, asumsi defisit ini lebih besar dari pembahasan sebelumnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena faktor pandemi Covid-19.
"Penetapan defisit 5,5 persen ditetapkan karena kita masih melihat Covid-19 masih akan berlangsung sampai tahun depan. Karena itu, kebutuhan untuk pemulihan ekonomi, ekspansi fiskal, serta mendukung pemulihan dan penanganan kesehatan masih dirasakan penting," ujarnya.
Dari sisi pendapatan negara, kata Sri Mulyani, pemerintah masih memperkirakan akan mengalami tekanan untuk memberikan insentif pemulihan ekonomi. "Karena itu, target dari penerimaan negara dari perpajakan memang dibuat tidak terlalu tinggi," katanya.
Disisi lain, eks direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, belanja negara tetap memprioritaskan untuk mendukung program bantuan sosial (bansos).
"Belanja negara, kita akan tetap mendukung program-program bansos untuk akselerasi pemulihan ekonomi, terutama untuk daya beli masyarakat paling rendah dan akses untuk UMKM dan koperasi melalui subsidi bunga KUR," ujar Sri Mulyani.
Pemerintah lanjut bendahara negara akan tetap menjaga angka kemiskinan satu digit atau 9,2 persen hingga 9,7 persen pada 2021. Kendati single digit, proyeksi tingkat kemiskinan mengalami kenaikan dari perkiraan 8,5 persen hingga 9 persen pada 2020.
Baca: Utang Luar Negeri RI Kini Mencapai Rp 5.526,8 triliun
"Namun, kita akan tetap menjaga pada level single digit. Kita pernah angka kemiskinan mencapai 9,4 persen tahun 2019 dan sampai awal tahun 2020 naik ke 9,78 persen karena adanya Covid-19," ujar Sri Mulyani.
Selain itu lanjut mantan bos World Bank ini pemerintah merencanakan angka pengangguran tahun 2021 juga mengalami kenaikan menjadi sekira 7,7 persen sampai 9,1 persen pada 2021. Sebelumnya, pemerintah telah membuat proyeksi tingkat pengangguran tahun 2020 ini ada di kisaran 4,8 persen hingga 5 persen.
Menkeu menambahkan, pemerintah tetap akan menjaga jumlah pengangguran meskipun ini akan menimbulkan dampak terhadap pelebaran kesenjangan.
"Sebab, daerah-daerah atau masyarakat dengan akses infrastruktur mungkin diuntungkan, namun daerah-daerah belum memiliki akses infrastruktur terasa sekali ketertinggalan," kata Sri Mulyani. (tribun network/van/wly)