News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bos Freeport Minta Penundaan Setahun Bangun Industri Smelter Tembaga, Alasannya Ini Proyek Rugi

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dirut PT Freeport Indonesia, Tony Wenas usai penyerahan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Dirjen Minerba Kementerian ESDM di Jakarta, Jumat (21/12/2018).

Laporan Reporter Kontan, Ridwan Nanda Mulyana 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali buka-bukaan bahwa proyek smelter tembaga yang saat ini tengah dibangun merupakan proyek yang merugikan secara finansial.

Presiden Direktur PTFI Tony Wenas membeberkan, proses penambangan dimulai dari bijih yang kemudian diolah menjadi konsentrat tembaga.

Nilai tambah dari pengolahan bijih ke konsentrat mencapai 95%.

Sementara itu, pengolahan dari konsentrat menjadi katoda tembaga yang dilakukan di smelter nilai tambahnya mini, yakni hanya 5%.

"Ya memang rugi, kalau proyek rugi saya bilang untung kan menyesatkan," kata Tony dalam webinar yang digelar Jum'at (4/9/2020).

Tony menjelaskan bahwa smelter akan mendapatkan pemasukan dari Treatment Charge and Refining Charge (TCRC).

Baca: Ekonom Faisal Basri: Keuangan Indonesia Jebol karena Smelter dari China Masuk Indonesia

Saat ini harga TCRC yang hampir berlaku di seluruh dunia berkisar di angka US$ 20 cent - US$ 24 cent per ton tembaga, yang nilainya itu tidak berubah dalam 20 tahun terakhir.

Namun pada awal Maret saat pandemi covid-19 merebak, harganya malah turun ke level US$ 18 cent per ton.

Baca: Rico Sia: Indonesia Rugi Jika Pembangunan Smelter Ditunda ke Tahun 2024

Padahal dengan proyek smelter tembaga yang membutuhkan investasi US$ 3 miliar, Tony menghitung bahwa nilai TCRC agar layak secara keekonomian harus mencapai level US$ 60 cent per ton.

"Sedangkan kalau kita smelt di tempat lain, kan US$ 20 cent cukup. jadi akan ada selisih US$ 40 cent yang harus menjadi beban PTFI," ungkap Tony.

Jika dihitung, selisih tersebut bisa mencapai US$ 300 juta per tahun. Menghitung masa izin PTFI selama 20 tahun ke depan, maka secara kumulatif selisih itu akan menjadi sekitar US$ 6 miliar.

"Ditambah dengan pembangunan sebesar US$ 3 miliar, kira-kira US$ 10 miliar," jelasnya.

Tony bilang, pihak yang paling dirugikan atas kondisi tersebut adalah PTFI  bersama para pemegang saham. Termasuk holding tambang BUMN MIND ID atau Inalum yang memiliki saham mayoritas sebesar 51,2%.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini