Laporan Reporter Kontan, Dikky Setiawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabar merger antara dua startup berlabel Decacorn yaitu Gojek dan Grab mendapat beragam komentar dari para ekonom.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, jika merger itu terjadi maka akan terjadi konsolidasi di bisnis ride sharing di Asia Tenggara.
Namun dengan kondisi Gojek yang memiliki brand dan pasar lebih kuat di Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, merger itu dinilai akan lebih dibutuhkan oleh Grab.
Dengan berbagai tekanan yang dihadapi aksi ini dinilai akan lebih menguntungkan perusahaan berbasis di Singapura tersebut.
"Secara bisnis market share Gojek lebih kuat dan memiliki brand image yang lebih positif di Indonesia.
Sementara Grab lebih unggul di luar negeri. Tapi untuk Asia Tenggara, Indonesia adalah kunci karena pasar terbesar, jadi posisi tawar Gojek lebih kuat," jelas Bhima di Jakarta, Minggu (20/9/2020).
Isu merger Gojek dan Grab muncul sejalan dengan memburuknya bisnis SoftBank sebagai penopang utama pendanaan Grab. Sejumlah investasi SoftBank diketahui mengalami kerugian besar.
Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, pada tahun fiskal 2019 Vision Fund, anak usahanya yang 40% investasinya di ride sharing, harus melakukan hapusbuku senilai US$ 17,7 miliar akibat kegagalan IPO WeWork dan juga Uber Technologies Inc.
Investasi Vision Fund di aset ride-sharing tersebar di seluruh dunia.
Contohnya sebesar US$ 7,7 miliar di Uber, US$ 11,8 miliar ke Didi China, US$ 3 miliar ke Grab Singapura. Nilai investasi Vision Fund di sektor bisnis transportasi dan logistik ditaksir mencapai US$ 33 miliar.
"Akibat Pandemi bisnis transportasi online masih akan slowdown sampai tahun 2021."
"Bisnis pengantaran makanan juga belum bisa menutup kerugian akibat penurunan bisnis transportasi. Inilah yang harus dicari solusinya oleh pelaku bisnis seperti Gojek dan Grab," imbuh Bima.
Sementara itu ditengah upayanya menahan kerugian besar, Softbank diketahui telah melepas sejumlah aset investasinya di berbagai negara.