Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto menilai pemindahan perizinan usaha dari daerah ke pusat seperti dalam UU Cipta Kerja belum cukup efektif dalam memangkas birokrasi investasi yang panjang.
Dia mengatakan, problem investasi di Indonesia bukan hanya karena panjangnya birokrasi saja, melainkan juga karena masih banyaknya pungutan liar (Pungli).
"Kalau hanya memindahkan pengurusan izin dari daerah ke pusat, pungli masih bisa terjadi. Artinya, hanya memindahkan pemainnya saja. Yang tadinya dilakukan pejabat-pejabat di daerah, sekarang di pusat," Katanya kepada wartawan, Jumat, (9/10/2020).
Menurutnya, sekarang ini pungli dalam birokrasi perizinan masih marak terjadi. Misalnya pungli dalam mengurus sertifikasi lahan dengan biaya yang tidak resmi. Praktek seperti itu menurutnya yang menghambat investor masuk ke Indonesia.
Baca: Menyimak Janji Manis UU Cipta Kerja untuk Buruh: Dari Soal Hak Cuti Haid Sampai Upah Minimum
"Kalau masalah itu tidak diselesaikan secepatnya, jangan berharap investor akan masuk dan malah mungkin akan beralih ke negara lain,” katanya.
Baca: Daftar Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja yang Memicu Amarah Buruh, Pasal-pasal Ini Paling Dimusuhi
Rasminto juga menyoroti banyaknya versi draf Rancangan UU (RUU) Ciptaker di masyarakat sebelum diparipurnakan DPR. Hal tersebut bisa disebabkan berbagai faktor.
"Mungkin ini kurangnya transparansi publik hasil pembahasan RUU atau ini memang sengaja disebarkan oleh kelompok politik tertentu agar situasi di masyarakat tambah gaduh," katanya.
Akademisi Universitas Indonesia Esa Unggul Syurya Muhammad Nur menilai, ada 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang berkaitan dengan kegiatan usaha.
Ini menggambarkan kompleksitas dan obesitas regulasi di Indonesia, apalagi saling tumpang tindih sehingga tingkat kemudahan berusaha di Indonesia di bawah negara-negara ASEAN lainnya.
Sehingga menurutnya perlu undang-undang yang memberikan kemudahan, pemberdayaan, serta perlindungan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti pengurusan pembentukan perseroan terbatas (PT).
"Misalnya PT untuk UMKM dapat didirikan oleh perseorangan yang tidak memerlukan akta pendirian. Cukup pernyataan pendirian perseroan yang disahkan secara elektronik oleh Menteri Hukum dan HAM," katanya.