TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI) menolak rencana Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengoptimalkan peran Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dengan cara restrukturisasi yang mengarah pada upaya monopoli.
ALSI yang menaungi 65 Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) menilai rencana kebijakan itu akan mematikan LSPro sebagai salah satu stakeholder penilai kesesuaian dalam penerapan SNI.
Baca juga: Sri Mulyani Tolak Wacana Kemenperin Bebaskan Pajak Mobil Jadi 0 Persen
Baca juga: Dorong Daya Saing, Kemenperin Akselerasi Industri 4.0 untuk SDGs
“Perampingan jumlah LSPro adalah sebuah kemunduran dan bertentangan dengan semangat deregulasi/kemudahan berbisnis di Indonesia yang dikedepankan Presiden Joko Widodo. Sebab, konskuensi dari perampingan adalah keterbatasan jumlah LSPro yang bisa menjadi pangkal dari lambannya pelayanan industri yang akan berakibat pada penurunan tingkat kepercayaan pelaku usaha,” kata Ketua Umum ALSI, I Nyoman Susila, dalam webinar dengan tema “Pro Kontra Wacana Monopoli LSPro: Dampaknya Terhadap Perekonomian Nasional” yang diselenggarakan ALSI, Selasa (20/10).
Hadir sebagai pemateri dalam seminar itu Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto, Direktur Sistem dan Harmonisasi Akreditasi Badan Standarisasi Nasional, Donny Purnomo, Dyah Palupi dari Kementerian Perdagangan, Achmad Wijaya dari KADIN, Sutjiadi Lukas dari AMI, Maulana Kamal dari Konsultan Hukum dan Direktur The Spring Institute Sunarya.
Nyoman Susila mengungkapkan, keberadaan LSPro saat ini adalah wujud dari kedewasaan industri jasa penilai kesesuaian yang secara nasional mempekerjakan lebih dari 3000 auditor, tenaga ahli, profesional, serta staf teknis/administratif.
“Jika rencana kebijakan Kemenperin itu direalisasikan, maka akan berdampak pada PHK sebagai konskuensi atas penutupan LSPro.
Menurut ALSI, tidak tepat argumentasi Menperin yang menganggap bahwa LSPro di Indonesia terlalu banyak sehingga memperluas peluang impor. Yang dibutuhkan justru kompetensi SDM dan penguasaan teknis agar LSPro pada akhirnya memiliki spesialisasi industrinya masing-masing.
Ia menjelaskan, kompetensi LSPro dievaluasi oleh Komite Akreditasi nasional (KAN) dan dibina oleh Pusat Standarisasi serta menjalankan tugasnya atas penunjukan Menteri Perindustrian.
“LSPro berpartisipasi aktif sebagai stakeholder standarisasi di Indonesia dengan memberikan asistensi serta rekomendasi kepada komite teknis perumusan SNI dan skema sertifikasi di Direktorat Jenderal Pembina Produk,” terangnya.
Karenanya, jika dilakukan monopoli atas LSPro maka diprediksi akan terjadi penurunan mutu kepercayaan pelayanan kepada industry yang menerapkan SNI Wajib,” tegasnya.
Sementara itu, Nusron Wahid mengatakan, perlu adanya jalan tengah atau titik temu agar di satu sisi kebijakan pemerintah tidak merugikan pelaku LSPro dan pelaku usaha, dan di sisi lain ada perspektif perlunya pembenahan di LSPro. Harus diakui juga, bahwa saat ini masih ada permasalahan kualitas kompetensi dan kualifikasi LSPro yang ada.
“Jadi jangan langsung apriori terhadap renjana kebijakan ini. Kita sikapi rencana kebijakan restrukturisasi LSPro ini dalam rangka menigkatan kualitas LSPro, khsusnya dalam standarisasi produk dalam negeri dan secara umum bisa meningkatkan perekonomian Indonesia,” kata Nusron Wahid, dalam
Nusron mengungkapkan, sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur semua barang yang diperdangangkan dalam rangka perlindungan konsumen wajib mencantumkan standarisasi. Dalam merealisasikan amanat UU itu, kebijakan pemerintah terkait standarisasi ini melibatkan 4 stekholder. Pertama pemerintah yang dalam hal ini ada Kemenperin, Kemendag, dan BSN. Ketiganya harus punya suara dan pendapat sama soal standarisasi. Kedua adalah pelaku lembaga sertifikasi produksi (LSPro). Karenanya, setiap kebijakan standarisasi juga harus mendengarkan aspirasidari LSPro yang sudah lama bergerak di bidang sertifikasi. Dan yang ketiga adalah melibatkan pelaku industri selaku yang memproduksi dan menjual.
“Maka dengan rencana kebijakan itu, kami di DPR ingin melihat mana kebijakan yang terbaik untuk kepentingan nasional. Pengertian baik ini berlaku baik untuk pemerintah, baik untuk LSPro, baik untuk pelaku usaha, baik juga untuk kepentingan konsumen. Artinya, kita ingin tidak ada yang dirugikan akibat kebijakan yang diambil pemerintah,” ungkapnya.