News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Harga Kedelai tak Terkendali

Apa Alasan Indonesia Begitu Bergantung Pada Kedelai Impor dari AS?

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI Kegiatan Ekonomi di Indonesia - Pekerja memproduksi tahu di sentra UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), Jalan Pdjadjaran, Gang Sari Dele 2, Gunung Sulah, Way Halim, Selasa (14/7/2020). Menurut perajin tahu sejak mewabahnya Covid-19 beberapa waktu lalu hingga saat ini, terpaksa mengurangi jumlah produksi tahu hingga mengalami penurunan, dari 150 Kg kedelai per hari saat ini hanya sekitar 100 Kg per hari.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Sebagian besar kedelai terserap untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS).

Baca juga: INDEF: Kenaikan Harga Kedelai Memukul Kelas Menengah ke Bawah

Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan mengatakan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar setengah dari produktivitas kedelai di AS.

"Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi,” ujar Made dikutip dari Kontan, Sabtu (3/2/2021).

Baca juga: Harga Kedelai Naik, Tempe Langka di Pasaran, Ini Kata Indef

Made menambahkan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar.

Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.

Made memperkirakan, rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.

Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun. Indonesia sebenarnya pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton.

Baca juga: Harga Kedelai Naik, Pedagang: Besok Tempe Mulai Ada Lagi, tapi Mungkin Ukurannya Dikurangi

Sementara, saat ini produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton, terbanyak untuk diserap industri tahu dan tempe.

Dalam nota keuangan tahun anggaran 2021, pemerintah menargetkan produksi kedelai 420.000 ton pada tahun 2021. Pada tahun ini, produksi diperkirakan berkisar 320.000 ton atau lebih rendah dibandingkan produksi tahun 2019 yang mencapai 420.000 ton.

Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik.

Sementara kedelai impor sebaliknya. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe.

Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama.

Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya. Bahkan bisa kurang empuk. Dalam hal budidaya kedelai baik lokal maupun impor punya kelebihan masing-masing.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini