Laporan Wartawan Tribunnews.comz Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan harga kedelai impor di awal tahun 2021 ini, membuat usaha para produsen tahu dan tempe morat-marit dan kesulitan.
Sebagai bentuk protes, para pengrajin tempe menjalankan mogok produksi bersama yang dilakukan pada tanggal 1 hingga 3 Januari kemarin.
Kelangkaan kedelai dan mahalnya bahan baku tempe tahu di awal 2021 ini sebenarnya bukan masalah baru.
Ketua DPP PKS bidang Tani Nelayan Riyono mengatakan, Joko Widodo (Jokowi) setelah terpilih sebagai Presiden periode 2014 - 2019 pernah berjanji akan menciptakan swasembada pangan termasuk kedelai pada 2016.
"Janji Presiden Jokowi untuk swasembada kedelai 2016 sampai sekarang nggak terbukti dan gagal, memang mudah buat janji dan aturan. Faktanya pemerintah gagal mewujudkan," kata Riyono dalam keterangannya, Rabu (6/1/2021).
Sejak awal tahun 2020 hingga bulan Oktober menurut data BPS, Indonesia sudah mengimpor sebanyak 2,11 ton kedelai dengan total transaksi sebesar US$ 842 juta atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14.000/US$).
Baca juga: Lonjakan Harga Kedelai dan Menghilangnya Tahu-Tempe Jadi Catatan Merah Pemerintah di Awal Tahun
Sejak 2016 sampai 2018 impor kedelai pun terus meningkat. Di tahun 2018 impor kedelai mencapai 2,58 juta ton kemudian jumlahnya naik di tahun 2019 menjadi 2,67 juta ton.
Baca juga: Kedelai Impor Bikin Gaduh, Mentan: Ini Pelajaran untuk Kita Semua
Riyono melanjutkan, ketergantungan kepada kedelai impor membuat pemerintah tidak fokus dan serius mengurus petani kedelai, jika 70 - 80 persen kebutuhan kedelai dari impor maka petani akan semakin terjepit dan malas berproduksi.
Perkiraan produksi kedelai tahun 2019 sebesar 358.627 ton dan 2020 ditargetkan meningkat 7 persen menjadi 383.371 ton. Padahal kebutuhan kedelai nasional kita rata - rata 2.5 juta ton per tahun.
Mengutip data Kementerian Pertanian yang mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan kedelai 2018 mencapai 680.373 hektare dengan produksi 982.589 ton.
Sedangkan pada tahun 2017, luas lahan mencapai 355.799 ha dan produksi 538.728 ton dan tahun 2016 luas lahannya 576.987 ha dan volume produksi 859.653.
Luas panen kedelai di Indonesia pada tahun 2017 hanya sebesar 355,799 Ha. Pada tahun 2018, luas panen kedelai di Indonesia meningkat menjadi 680.373 Ha. Luas panen pada tahun 2018 ini naik sebesar 91,22 jelas dari tahun sebelumnya.
"Kegagalan produksi kedelai ini terus berulang sejak 2016 pasca Jokowi memberikan target swasembada pangan dan kedelai."
"Jika impor selalu menjadi andalan pemenuhan kebutuhan kedelai maka bisa dipastikan harga akan mudah dipermainkan oleh pedagang dan importir," ucap Riyono.
PKS meminta pemerintah lebih fokus dan mengendalikan impor pangan khusunya kedelai agar petani semangat dan mau menanam kedelai.
Jangan korbankan petani dan pelaku UMKM tempe dan tahu dengan kebijakan impor yang terus tidak terkendali, fokus kepada peningkatan produksi dalam negeri dengan memberikan insentif produktif kepada petani.
Anggota DPR RI Fraksi PKS Nevi Zuairina menyebut, adanya kenaikan harga kedelai tersebut menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021.
Mengingat di tengah pandemi, yang saat ini mengalami daya beli masyarakat menurun.
“Kedelai sebagai bahan baku utama bagi industri tahu dan tempe tentu akan sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik," kata Nevi melalui keterangannya, Selasa (5/1/2021).
"Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual," imbuhnya.
Nevi menjelaskan, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp 14.700).
Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.
"Sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan," katanya.
Baca juga: Mentan Sebut Pengembangan Kedelai Lokal Sulit Dilakukan, Ini Sebabnya
"Tentunya hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor," lanjutnya.
Lebih lanjut, Nevi mengingatkan pada tahun 1992 Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai.
Pada saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun.
“Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” ujarnya.
Atas dasar itu, Nevi menyarankan agar pemerintah harus dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri.
Selain itu dibutuhkan kolaborasi aktif antara Kementerian dan Lembaga terkait serta melibatkan pelaku industri dan UMKM agar dapat menciptakan stabilitas harga kedelai.
“Melonjaknya harga kedelai juga dapat meresahkan pedagang kecil. Karena nanti penjual gorengan tidak dapat menjual tahu dan tempe goreng, sehingga pendapatan mereka pun bisa berkurang,” ujarnya.
Kedelai Kita 90 Persen Impor
Sekjen Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) Ayep Zaki angkat suara soal kenaikan harga kedelai yang tadinya di kisaran Rp 7 ribu melambung hingga Rp 10 ribu.
KITA melihat naiknya harga kedelai hingga hampir 50 persen ini merupakan dampak dari lonjakan permintaan pembelian dari China.
Pasalnya selama ini, hampir 90 persen kebutuhan kedelai Indonesia dipenuhi dari impor.
"Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan pokok bangsa yang selalu import-oriented, khususnya kedelai," ujar Sekjen Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA), Ayep Zaki dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Senin (4/1/2021).
Organisasi yang dipimpin Maman Imanulhaq itu meminta pemerintah benar-benar menaruh perhatian serius terhadap persoalan pangan, seperti sekarang terjadi pada sektor kedelai.
KITA tidak ingin pemerintah hanya menyelesaikan persoalan pangan dengan solusi sementara tanpa fokus pada membangun kedaulatan pangan di tanah air.
"Persolan pangan atau pertanian ini perlu menjadi perhatian bersama. Jangan sampai hanya diselesaikan juga dengan solusi sementara."
"Namun fokus bersama kita adalah membangun kedaulatan pangan, tidak lagi ketergantungan dari komoditas asing. Kedaulatan pangan jangan cuma jargon saja," kata Zaki.
Tanggapan Menteri Pertanian
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, menyatakan akan segera mengambil langkah atas polemik kedelai impor yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.
Menurut politikus Nasdem ini, melonjaknya harga kedelai di pasaran dunia seharusnya jadi pelajaran berharga untuk bisa meningkatkan produksi kedelai petani lokal.
Para perajin tahu tempe melakukan aksi mogok nasional menuntut pemerintah menyelesaikan masalah tingginya kedelai impor asal Amerika Serikat. Imbas aksi ini membuat tahu dan tempe mengalami kelangkaan di pasaran.
"Ini menjadi pelajaran untuk kita semua sehingga kekuatan (produksi) lokal dan nasional harus menjadi jawaban dari kebutuhan (kedelai) itu," kata Syahrul dilansir dari Antara, Senin (4/1/2021).
Syahrul menilai bahwa harga kedelai di pasar dunia yang melonjak ini merupakan bagian dari kontraksi global. Meningkatnya harga kedelai dipengaruhi dari negara produsen utama, yakni Amerika Serikat.
Kementerian Perdagangan mencatat bahwa kenaikan harga dikarenakan kenaikan permintaan konsumsi dari China, negara importir kedelai terbesar dunia.
Indonesia yang menjadi negara importir kedelai terbesar setelah China, pun turut merasakan dampak dari kurangnya pasokan komoditas tersebut.
Akibatnya, kenaikan harga kedelai itu menjadi beban bagi para perajin tahu dan tempe yang terpaksa harus meningkatkan harga jualnya.
Menyikapi hal tersebut, Syahrul menjelaskan bahwa Kementan telah berkoordinasi dengan integrator dan pengembang kedelai untuk menggenjot produksi dalam negeri.
Ia mengatakan bahwa setidaknya dibutuhkan waktu 100 hari dalam satu kali masa tanam dan panen kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produsen tahu dan tempe, Syahrul menyebutkan bahwa diperlukan dua kali masa tanam.
"Ini kan membutuhkan 100 hari minimal kalau pertanaman. Dua kali 100 hari bisa kita sikapi secara bertahap sambil ada agenda seperti apa mempersiapkan ketersediaannya. Kita juga bekerja sama dengan kementerian lain," kata Syahrul.
Syahrul menjelaskan pemenuhan kedelai secara mandiri diperlukan mengingat kebutuhan kedelai sebagai bahan baku untuk produksi tempe dan tahu setiap tahunnya semakin bertambah.
Pemerintah, kata dia, terus berupaya menekan impor kedelai yang hingga saat ini masih tinggi.
"Kondisi ini menyebabkan pengembangan kedelai oleh petani sulit dilakukan. Petani lebih memilih untuk menanam komoditas lain yang punya kepastian pasar. Tapi kami terus mendorong petani untuk melakukan budi daya," kata Syahrul.
"Program aksi nyatanya kami susun dan yang terpenting hingga implementasinya di lapangan," kata dia lagi.
Penyumbang inflasi
Sementara itu, BPS mencatat produk olahan dari kedelai yakni tahu dan tempe mengalami inflasi pada Desember 2020 menyusul kenaikan harga kedelai di pasar global.
"Tahu mentah mengalami inflasi 0,06 persen dan tempe mengalami inflasi 0,05 persen," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam jumpa pers secara virtual di Jakarta.
Meski mencatatkan inflasi secara bulanan pada Desember 2020, namun ia menilai dua komoditas olahan dari kedelai itu tidak signifikan memberi sumbangan terhadap inflasi secara nasional.
"Namun, kedua komoditas ini memberi andil kecil terhadap inflasi nasional," imbuh dia.
BPS mencatat inflasi bulanan pada Desember 2020 mencapai 0,45 persen, atau meningkat dibandingkan November 2020 mencapai 0,28 persen.
Andil terbesar terhadap inflasi Desember 2020 menurut kelompok pengeluaran adalah makanan minuman dan tembakau sebesar 0,38 persen dengan inflasi mencapai 1,49 persen.
Kemudian, transportasi memberi andil mencapai 0,06 persen dengan inflasi Desember 2020 mencapai 0,46 persen dan penyediaan makanan dan minuman/restoran memberi andil 0,02 persen dengan inflasi pada Desember 2020 mencapai 0,27 persen.