Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar ekonomi Roy Sembel menilai potensi kerugian BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat disamakan dengan persoalan yang ada di PT Asuransi Jiwasraya.
Roy Sembel menjelaskan, Asuransi Jiwasraya sudah mulai bermasalah lebih dari satu dekade lalu, di mana pengelolaan portfolio tidak cocok dengan data statistik yang kurang akurat.
"Data yang digunakan kependudukan, statistiknya belum ada yang akurat pada tahun 2000-an, akibatnya pengeluaran lebih besar dari pemasukannya sehingga defisit," ucap Roy di acara diskusi Pengelolaan Investasi dan Potensi Unrealized Loss pada Lembaga Milik Negara, Apakah Pasti Menjadi Kerugian Negara?, Selasa (23/2/2021).
Dari defisit keuangan tersebut, kata Roy, pengelola Asuransi Jiwasraya melakukan tambal sulam dengan mengeluarkan produk asuransi yang berbahaya atau berisiko tinggi dalam investasi jangka menengah dan panjang.
Baca juga: Korban Dugaan Penipuan Investasi Jiwasraya Minta Dipertemukan Langsung dengan Presiden
"Porsi saham yang dilakukan Jiwasraya karena mengejar keuntungan tinggi, maka diperbesar. Alokasi asetnya ini banyak di saham goreng-gorengan," paparnya.
Baca juga: Sosok Heru Hidayat, Bos TRAM yang Terlibat Skandal Korupsi Asabri dan Jiwasraya, 20 Kapalnya Disita
Sementara, kasus di BPJS Ketenagakerjaan, Roy menuturkan asetnya paling besar dialokasikan ke surat utang 64 persen, saham 17 persen, deposito 10 persen, reksdana 8 persen, dan investasi langsung 1 persen.
Baca juga: Legislator NasDem : Direksi Harus Bertanggung Jawab Terkait Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan
"Sebanyak 98 persen dari portofolio saham, BPJS Ketenagakerjaan ditempatkan pada saham LQ45," tutur Roy.
Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto mengatakan, investasi di pasar modal kadangkala mengalami kenaikan dan penurunan, tergantung dengan kondisi perekonomian, maupun emiten tersebut.
Baca juga: Ferrari F12 Berlinetta Milik Tersangka Asabri Heru Hidayat Ikut Disita Kejagung
"Kalau ekonomi sedang terpuruk, seperti di awal-awal pandemi Covid-19 Maret 2020, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai membaik dan banjir likuiditas, maka harga saham kembali terbang," tuturnya.
Selama Agustus-September 2020 BPJS Ketenagakerjaan mengalami unrealized loss hingga Rp 43 triliun.
Kemudian, pada akhir Desember 2020 angkanya turun menjadi Rp 22,31 triliun, dan pada posisi Januari 2021 unrealized loss tinggal Rp14,42 triliun.