TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 saat ini ternyata sudah mengalami defisit sekitar Rp 45,7 triliun. Hal itu terjadi akibat penerimaan negara yang terkumpul cuma mencapai Rp 100 triliun sampai dengan Januari 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pendapatan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan belanja negara yang sampai Januari kemarin yang sudah mencapai Rp145 triliun.
Defisit APBN itu juga lebih besar dibandingkan defisit pada Januari 2020.
"Defisit APBN 0,26 persen (lebih tinggi) dibandingkan (Januari) 2020 yang baru Rp34,8 triliun. Tidak terlalu banyak beda. Tapi ada kenaikan dibanding Januari 2020 sebelum ada covid," kata Sri Mulyani, Selasa (23/2).
Sri Mulyani menambahkan, defisit terjadi karena pendapatan negara pada Januari kemarin mengalami kontraksi 4,8 persen dibandingkan 2020 yang masih bisa mencapai Rp105 triliun.
Kontraksi penerimaan pendapatan itu salah satunya dipicu oleh pendapatan pajak yang baru mencapai Rp68 triliun atau terkontraksi 15,3 persen dibandingkan tahun lalu yang masih bisa mencapai Rp80,8 triliun.
Namun, ada peningkatan penerimaan kepabeanan dan cukai yang menopang pendapatan negara pada Januari 2021.
Penerimaan pajak negara pada Januari 2021 sebesar Rp68,5 triliun, kepabeanan dan cukai Rp12,5 triliun, serta PNBP sebesar Rp19,1 triliun. Sementara itu, hibah nol atau tidak ada sama sekali.
"Yang paling penting dalam APBN bulan Januari adalah sisi belanja karena APBN instrumen fiskal yang melakukan akselerasi pemulihan, dan terlihat di dalam belanjanya semua tumbuh positif dibandingkan Januari tahun lalu," ungkap Sri Mulyani.
Di tengah tekanan pendapatan itu, belanja negara, terutama untuk modal, barang dan bansos melonjak sangat tinggi pada Januari 2021 kemarin.
Belanja negara itu terdiri dari belanja K/L sebesar Rp48 triliun, belanja non K/L Rp46 triliun.
Kemudian Transfer Dana Ke Daerah (TKDD) yang terdiri dari transfer ke daerah sebesar Rp50,3 trilin dan dana desa Rp800 miliar.
Sri Mulyani mengatakan, lonjakan belanja itu merupakan efek dari pandemi corona. Ia mengatakan untuk belanja barang saja, pada Januari kemarin sudah naik 7,2 persen.
Sementara belanja modal naik 539 persen.
Sedangkan untuk belanja bantuan sosial, ia mengatakan per Januari kemarin sudah teralisasi sebesar Rp20 triliun. Itu naik dibandingkan realisasi 2020 yang baru Rp13,2 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Defisit APBN Rp 956,3 Triliun Sepanjang 2020 Cukup Terkendali
"Kalau kita lihat breakdown, dana desa melonjak sangat tinggi Rp800 miliar dibandingkan Rp300 miliar tahun lalu, ini untuk mendukung rakyat menghadapi Covid-19 melalui BLT Desa," jelas Sri Mulyani.
Baca juga: Neraca Dagang Indonesia Desember 2020 Surplus Terhadap AS, Defisit Melawan China
"Belanja pegawai relatif sama tidak banyak berubah," katanya. Pemerintah sendiri menetapkan defisit pada tahun 2021 ini senilai Rp1.006,4 triliun.
Angka ini meningkat dari posisi defisit awal tahun 2020 yang belum direvisi sesuai Perppu dan Perpres 72/2020 dengan nilai Rp307,2 triliun.
Dengan defisit melebar sejak awal 2021, pemerintah mencari pembiayaan utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) hingga penarikan pinjaman lebih awal juga. Hal ini tercermin oleh peningkatan tajam realisasi SBN Januari 2021.
Penerbitan SBN netto Januari 2021 menyentuh Rp169,7 triliun naik 135,7 persen dari realisasi Januari 2020 yang hanya Rp72 triliun.
“Sampai 31 Januari 2021 pembiayaan utang mencapai Rp165,8 triliun penerbitan SBN Netto Rp169,7 triliun. Naik 135,7 persen dari tahun lalu,” ucap Sri Mulyani.(tribun network/yov/dod)