News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Proyeksi Ekonom CIMB Niaga: Ekonomi Indonesia Tahun Ini Tumbuh 3,9 Persen

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Geliat ekonomi terlihat di pusat perbelanjaan Mal Ciputra, Kota Semarang, Jawa Tengah, menjelang Imlek, Jumat (5/2/2021). Tribun Jateng/Hermawan Handaka

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perekonomian Indonesia pada 2021 diproyeksi tumbuh positif setelah pada 2020 sempat terkontraksi akibat pandemi Covid-19. 

Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di kisaran 3,9 persen. 

Kenaikan ini akan mulai tampak dari geliat perekonomian pada kuartal I 2021 sebesar 0,8 persen secara tahunan (year on year/yoy).

“Kami melihat secara umum tahun 2021 masih penuh dengan tantangan. Namun, tentu akan lebih baik dari 2020," ujarnya dalam acara "Diskusi Bersama Chief Economist CIMB Niaga" yang digelar secara virtual di Jakarta, Kamis (25/2/2021). 

Baca juga: Ada Fasilitas DP Nol Persen, BI Proyeksi Pertumbuhan Kredit Properti Tumbuh Hingga 7 Persen

Proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun ini berdasarkan atas lima faktor yang mempengaruhi dinamika perekonomian 2021. 

Baca juga: Peneliti UI: Pertumbuhan Sektor Pertanian Pengaruhi Kinerja Sektor Industri

Dua faktor pertama bersifat mendukung angka pertumbuhan yang lebih tinggi dan tiga faktor lainnya bersifat menahan prospek laju pertumbuhan ekonomi di 2021.

Adrian menyebutkan, faktor pertama yaitu efek dasar, menjelaskan sekitar tiga perempat dari narasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2021. 

Adapun sisanya oleh normalisasi perekonomian di pulau Jawa yang mencakup hampir 60 persen dari total PDB Indonesia. 

Persentase itu ditopang oleh sektor keuangan, telekomunikasi, infrastruktur publik melalui alokasi APBN, dan kesehatan. 

Menurut dia, hal ini sejalan dengan dimulainya program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Lalu faktor kedua, prospek dorongan likuiditas lewat stimulus fiskal terutama belanja modal yang didukung oleh penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Day Reverse Repo Rate ke arah 3,50 persen yang kini telah terealisasi pekan lalu. 

Khusus terkait pelonggaran moneter, ke depan sebaiknya BI disarankan tidak diturunkan lagi ke bawah 3,50 persen.

“Hal ini penting karena dua alasan yaitu pertimbangan eksternal terkait masih sangat besarnya ketidakpastian arah pergerakan aset global di 2021 yang pasti akan berdampak pada stabilitas rupiah. Selain itu, dari sisi domestik untuk menjaga agar monetary tank tidak terlalu kosong, sehingga dapat mencegah munculnya komplikasi saat akan dilakukannya normalisasi moneter pasca 2022 atau 2023,” ujar Adrian. 

Faktor ketiga, lanjutnya, yakni terhambatnya dorongan fiskal oleh kelambanan tata administratif, sehingga pengeluaran APBN hanya akan mencapai maksimum 85 persen hingga 90 persen dari yang telah dianggarkan. 

Dari sisi penerimaan, APBN juga akan terkendala oleh kurangnya penerimaan pajak sebagai akibat dari belum pulih sepenuhnya kondisi perekonomian dan berbagai insentif penurunan pajak yang telah dan akan diberikan. 

Kendala sisi penerimaan dan keperluan untuk menjaga arus kas APBN berpotensi menghambat efektivitas dari rencana stimulus fiskal. 

Selanjutnya faktor keempat yaitu masih adanya kendala mobilitas manusia yang merupakan konsekuensi dari berkepanjangannya pandemi di 2021, sehingga akan menyebabkan belum signifikannya ekspansi produksi. 

Menurut Adrian, masih terkendalanya mobilitas manusia dipicu relatif rendahnya kecepatan program vaksinasi di Indonesia yang hingga akhir tahun 2021 diperkirakan belum akan mencapai target. 

“Artinya, prospek belum akan terbentuknya herd immunity berpotensi menyebabkan perusahaan belum berani menggenjot produksinya secara maksimal pada tahun ini, selain rumah tangga yang masih akan menahan belanjanya,” jelasnya. 

Terakhir, faktor kelima berasal dari pengurangan belanja modal (capital expenditure/capex) yang masih akan berlanjut di 202 yang paling tidak ini akan terus terjadi di segmen korporasi swasta. 

Sementara, implementasi proyek infrastruktur dari belanja modal APBN kemungkinan besar akan menghadapi tantangan dari belum akan terciptanya herd immunity. 

"Rendahnya capex di 2020 telah berdampak pada turunnya angka potential output di 2021. Belum terciptanya optimal mix antara capex swasta dan capex pemerintah di tahun ini juga berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi di tahun 2022," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini