Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik kebijakan impor beras mendapat perhatian Ombudsman RI.
Lembaga itu melihat ada potensi cacat administrasi atau maladministrasi terkait mekanisme pengambilan kebijakan impor beras sebanyak 1 juta ton.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, pihaknya meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan kembali rakortas untuk menunda keputusan impor beras.
Setidaknya penundaan hingga Mei 2021 guna mengetahui lebih dulu data valid mengenai hasil panen raya dalam negeri dan pengadaan beras oleh Bulog.
"Ombudsman meminta Kemenko Perekonomian untuk melaksanakan rakortas guna menunda keputusan impor hingga menunggu perkembangan panen dan pengadaan oleh Bulog pada awal Mei," kata Yeka dalam keterangannya, Sabtu (27/3/2021).
Baca juga: Jokowi Batalkan Impor Beras, PPP: Langkah Tepat
Baca juga: Jokowi Minta Debat Polemik Impor Beras Dihentikan: Harga Gabah Bisa Anjlok
Menurutnya, Ombudsman tak melihat ada indikator yang mengharuskan keran impor dibuka, baik itu dari sisi produksi maupun harga beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi tahun ini akan sedikit lebih tinggi dari tahun lalu.
Di sisi lain, total stok beras nasional saat ini mencapai lebih dari 5 juta ton yang diyakini masih relatif aman.
Terdiri dari Bulog 883.585 ton, penggilingan 1 juta ton, Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) 30.600 ton, lumbung pangan masyarakat (LPM) 6.300 ton, rumah tangga 3,2 juta ton, serta hotel, restoran, kafe (horeka) 260.200 ton.
Begitu pula dari sisi harga beras nasional yang berhasil terjaga stabil dalam tiga tahun terakhir atau sejak pertengahan 2018 hingga 2020.
"Merujuk data stok pangan dan potensi produksi beras nasional di 2021, Ombudsman menilai bahwa stok beras nasional masih relatif aman, dan tidak memerlukan impor dalam waktu dekat ini," jelas Yeka.
Yeka pun menyoroti mekanisme pada rakortas dalam memutuskan kebijakan impor beras. Sebab seharusnya rencana impor diputuskan berbasiskan data yang valid dengan memperhatikan early warning system atau sistem peringatan dini.
"Sehingga kami melihat bahwa ini jangan-jangan ada yang salah dalam memutuskan kebijakan impor," katanya.