News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

'Penyanyi Cover Seharusnya Membayar Royalti dan Harus Mendapat Izin dari Pemilik Lagu Hak Ciptanya'

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Jendral Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM RI Freddy Harris saat jumpa pers secara daring, Jumat (9/4/2021)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM RI Freddy Harris mengatakan, Peraturan Pemerintah nomor 56 (PP 56) tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik hanya berlaku untuk kebutuhan komersial.

Adapun kebutuhan komersial yang dimaksud Freddy yakni, siapapun yang menggunakan lagu dan/atau musik dari pemilik hak cipta yang ditujukan untuk mencari keuntungan ekonomi seperti kafe dan rumah karaoke misalnya juga pusat perbelanjaan.

"Catatannya adalah peraturan ini untuk penggunaan komersial kalau tidak komersial tidak akan masalah," katanya saat jumpa pers secara daring, Jumat (9/4/2021).

Dengan begitu kata dia, PP Nomor 56 tahun 2021 berlaku untuk siapapun yang menyanyikan lagu cover yang dimuat dalam platform digital maupun analog.

Pasalnya, para penyanyi cover kata Freddy pasti mendapatkan keuntungan ekonomi, baik dari iklan ataupun jumlah pendengar dari setiap platform yang dimuatnya.

"Seharusnya (penyanyi cover) membayar royalti kepada pemiliknya dan harus mendapat izin dari pemilik lagu hak ciptanya," katanya.

Namun, kata Freddy kedua belah pihak tidak selalu harus berpedoman pada peraturan tersebut. Keduanya kata dia, dapat melakukan negosiasi terkait dengan royalti yang didapatkan.

"Penyanyi cover harus fair juga, kalau dia mendapatkan keuntungan tapi belum diatur oleh pemerintah bisa diselesaikan secara B2B (bisnis)," ucapnya.

Freddy mengatakan, peraturan ini merupakan penguatan dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) dalam melindungi hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta dan pemilik produk hak terkait.

Baca juga: Bahas Royalty Platform Digital, WAMI, RAI, dan KCI Gelar Dialog Dengan LMKN

Hal itu tertuang dalam ketentuan Pasal 9, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Hak Cipta yang secara tegas telah menyebutkan, pihak-pihak yang akan melakukan komersialisasi atas suatu ciptaan maupun produk hak terkait harus meminta izin kepada pencipta/pemegang hak cipta atau pemilik produk terkait.

PP ini hadir kata Freddy untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.

"Intinya, PP ini mempertegas Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/Atau Musik tentang bentuk penggunaan layanan publik bersifat komersial dalam bentuk analog dan digital," ujarnya.

Pusat Data

Freddy Harris merencanakan pembuatan pusat data yang disebut Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) akan dilakukan pada 2022 mendatang.

Padahal, sebelumnya pemerintah sudah berencana untuk membuat pusat data ini pada 2020 lalu. Namun harus tertunda karena pandemi COVID-19.

"Indonesia harus memiliki Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) dengan membangun data center untuk lagu dan musik, rencananya tahun kemarin (dibangun) tapi ada Covid, jadi ditunda," tutur Freddy.

Lebih lanjut, Freddy mengatakan, dengan adanya pusat data lagu dan/musik tersebut nantinya hak royalti yang didapatkan para pencipta lagu atau musisi bisa lebih transparan penyalurannya.

Pasalnya kata dia, hingga saat ini di Indonesia belum ada data lengkap mengenai karya atau lagu dari para musisi untuk dijadikan bukti permintaan royalti.

"Bangun data center yang baik, agar royalti para musisi tersebut bisa sesuai," katanya.

Baca juga: Kenangan Kaesang saat Didi Kempot Tolak Royalty, Putra Jokowi Menyesal Tak Penuhi Ajakan Almarhum

Freddy mengatakan, pusat data lagu dan/atau musik ini nantinya berasal dari e-Hak Cipta yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham.

Selanjutnya, dapat diakses oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Pemilik Hak Terkait, dan Pengguna Secara Komersial.

Kemudian, LMKN akan mengelola royalti berdasarkan data yang telah terintegrasi antara Pusat data musik dan/lagu milik DJKI dengan SILM yang dikelola oleh LMKN.

"Artinya, pusat data ini untuk menyajikan data mengenai siapa penciptanya, penyanyinya siapa, produser rekamannya siapa," kata Freddy.

Freddy mengatakan, pusat data tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh pengguna lagu atau musik komersial untuk mengetahui kebenaran dari kepemilikan hak cipta lagu dan/atau musik yang digunakannya.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, pada 30 Maret 2021 lalu.

Dalam PP tersebut memuat tentang kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik.

Royalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Baca juga: Jajal Penyanyi Solo, Alfred Ayal Komitmen Bermusik Lewat Bukan Cinta Sementara

Freddy Harris mengatakan, peraturan ini juga merupakan penguatan dari UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) dalam melindungi hak ekonomi dari Pencipta/Pemegang hak cipta dan pemilik produk hak terkait.

Kata Freddy hal itu, tertuang dalam ketentuan Pasal 9, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Hak Cipta, yang secara tegas telah menyebutkan bahwa pihak-pihak yang akan melakukan komersialisasi atas suatu ciptaan maupun produk hak terkait, harus meminta izin kepada Pencipta/pemegang hak cipta atau pemilik produk terkait.

"PP ini hadir untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik," katanya.

Lebih lanjut kata Freddy, PP ini juga mempertegas Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau musik tentang bentuk penggunaan layanan publik bersifat komersial dalam bentuk analog dan digital.

Dengan begitu, terdapat tiga sektor yang memiliki hak pengelolaan royalti sesuai dengan yang diatur dalam PP Nomor 56 tahun 2021 ini, yakni di antaranya, pertama, hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta yang dikelola.

Hal ini meliputi pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan dan komunikasi ciptaan.

Kedua, hak ekonomi pelaku pertunjukan yang dikelola.

Dalam hal ini meliputi penyiaran dan/atau komunikasi atas pertunjukkan pelaku pertunjukkan.

Terakhir, hak ekonomi Produser fonogram yang dikelola. Meliputi penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakes publik.(tribun network/ris/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini