Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Riset PT Reliance Sekuritas Lanjar Nafi mengatakan, fenomena investasi dengan janji imbal hasil tinggi sejatinya muncul di saat masa krisis seperti 2020 lalu hingga pemulihan saat ini.
Lanjar menjelaskan, beberapa instrumen investasi yang menawarkan bunga tinggi akhirnya mengalami gagal bayar atau menjadi investasi bodong yang merugikan investor.
Umumnya investor tipe ini tergiur berinvestasi di instrumen tersebut lantaran ingin gampang punya uang tanpa perlu capek kerja.
"Masyarakat yang tidak mengerti apa itu investasi yang baik dan benar akan tergiur dengan konsep mendapatkan uang tanpa bekerja," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, belum lama ini.
Baca juga: Investor Pemula Perlu Kenali Dulu Makna Berinvestasi di Saham Agar Tak Terjebak Jadi Spekulan
Padahal, kata Lanjar, secara paradigma penanaman modal dalam bentuk investasi perlu adanya waktu dan proyeksi bisnis yang baik ke depan.
Baca juga: Investor Disarankan Jauhi Dulu Saham-saham Emiten BUMN, Harganya Sudah Kemahalan
Selain itu, dia menilai kebutuhan primer dan berinvestasi harus menjadi prioritas ketimbang tersier yang nantinya akan mengikuti seiring nilai investasi kita terus tumbuh.
Sementara dari sisi regulasi, sosialisasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai investasi harus lebih sering kepada masyarakat luas.
OJK dinilianya juga harus melakukan evaluasi peraturan-peraturan yang lebih ketat serta menindak tegas dugaan investasi bodong yang tidak memiliki izin.
Di sisi lain, Lanjar menyarankan jenis instrumen yang cocok bagi investor pemula karena berisiko minim yakni obligasi hingga reksa dana.
"Obligasi dan sukuk ritel Indonesia memiliki imbal hasil per tahun di atas 6 persen, memiliki risiko rendah. Reksa dana pendapatan tetap rata-rata memiliki imbal hasil per tahun di atas 10 persen, memiliki risiko rendah juga," pungkasnya.