Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konsumen mendesak adanya regulasi yang terpisah dari rokok terhadap produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, snus, dan kantong nikotin.
Perbedaan profil risiko pada yang dihasilkan oleh produk HPTL menjadi landasan agar produk hasil dari pengembangan inovasi serta teknologi ini perlu diatur lewat regulasi terpisah.
Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO), Paido Siahaan, menilai perbedaan profil risiko antara produk HPTL dan rokok seharusnya disikapi pemerintah dengan perlakukan yang berbeda pula.
“Karena ada perbedaan profil risiko tersebut, kami ingin ada pemisahan regulasi antara produk HPTL dan rokok,” ujar Paido ketika dihubungi, akhir pekan lalu.
Untuk menyusun regulasi yang berbeda dari rokok, Paido menyarankan para pemangku kepentingan mulai dari konsumen, pelaku industri, kementerian/lembaga, pemerintah, akademisi, hingga praktisi kesehatan perlu menyamakan persepsi mengenai produk HPTL. Sebab, hingga kini, masih banyak ragam informasi yang keliru mengenai produk tersebut.
Baca juga: Appinindo Klaim HPTL Tidak Mengandung Tar
“Kita perlu duduk bersama antara pemerintah, konsumen, pengusaha produk HPTL, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyamakan persepsi bagaimana sebenarnya kita menyikapi produk ini, agar bisa membuat perubahan yang lebih baik untuk bangsa,” ungkap Paido.
Baca juga: Pelaku Industri Hasil Tembakau Minta Stop Wacana Revisi PP 109/2012, Ini Alasannya
Persepsi yang keliru tersebut, Paido melanjutkan, dikarenakan minimnya hasil kajian ilmiah di dalam negeri dan kurangnya sosialisasi mengenai hasil penelitian yang sudah ada.
“Masih banyak yang menganggap produk HPTL ini sama bahayanya seperti rokok dikarenakan masih sedikit hasil kajian ilmiah atau penelitian yang membahas secara detail mengenai produk tersebut. Kami merasa sudah saatnya pemerintah ikut serta dengan diawali melakukan kajian ilmiah produk HPTL,” tegasnya.
Dengan adanya regulasi berbasis kajian ilmiah, Paido mengatakan produk HPTL dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, khusus terkait upaya menekan jumlah perokok di Indonesia.
“Layanan Kesehatan Nasional Inggris (The National Health Service/NHS) telah menggunakan produk HPTL untuk mengatasi masalah rokok. Kami berharap, dalam hal ini, pemerintah bisa melakukan hal serupa untuk menekan jumlah perokok di Indonesia,” kata Paido.
Sementara itu, David Abrams, Profesor Departemen Ilmu Sosial dan Perilaku di New York University College of Global Public Health, yang menjadi pembicara dalam Global Tobacco & Nicotine Forum pada April lalu, menyebutkan ada banyak sekali informan dan informasi keliru mengenai produk tembakau alternatif.
Dia mengibaratkan pertumbuhan informan dan informasi tersebut seperti zombie yang sangat susah untuk ditumpas.
“Salah satu konsep zombie ini adalah mantra yang secara konstan selalu didengungkan, yakni bahwa rokok elektrik menghambat atau menekan upaya berhenti merokok dan sama sekali tidak membantu orang-orang yang merokok untuk beralih atau berhenti merokok,” jelasnya.
Padahal, berdasarkan artikel kesehatan yang beredar di Amerika Serikat, terjadi penurunan konsumsi rokok secara dramatis setelah peningkatan konsumsi produk HPTL di Negeri Paman Sam tersebut.
Dengan kata lain, produk HPTL, yang memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok, mampu menekan jumlah konsumsi rokok.
Oleh karena itu, kata David, dibutuhkan keterbukaan, transparansi, itikad baik dari semua pihak untuk dapat mengevaluasi dan merangkul fakta terkait berbasis kebijakan ilmiah, manfaat serta profil risiko dari produk HPTL demi kemaslahatan masyarakat luas.
“Saya rasa, fokus pada langkah yang berlandaskan pada kebijakan ilmiah pada akhirnya akan mendominasi dan mampu mengambil tempat tertinggi. Jadi, kita harus mengedepankan itikad baik dengan mereka yang tidak setuju, dengan berlandaskan metodologi ilmu pengetahuan yang kuat agar bisa memajukan bidang ini dan menyelamatkan jutaan nyawa,” paparnya.