Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo menyebut perekonomian Indonesia masih rapuh, meski pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 tercatat 7,07 persen.
"Saya melihat perekonomian memang membaik selama kuartal II 2021, konsumsi dan ekspor tumbuh relatif tinggi. Namun, saya juga mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut masih sangat rapuh," ujar Dradjad, Jumat (6/8/2021).
Baca juga: Meski Ekonomi Tumbuh Tinggi, Erick Thohir Tetap Waspadai Bayang-bayang Varian Delta
Dradjad menyebut ada tiga alasan ekonomi Indonesia masih terbilang rapuh.
Pertama, angka 7,07 persen diperoleh dari basis Produk Domestik Bruto (PDB) yang anjlok drastis tahun lalu, di mana ekonomi tumbuh minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 dan ini memberikan basis perhitungan PDB yang rendah.
Baca juga: DKI Selamat dari Turbulensi Resesi, Ekonomi Jakarta Kuartal Dua Melesat 10,91 Persen
"Untuk mudahnya saya ibaratkan kita punya 100 medali pada tahun 2019. Tahun 2020, medali kita anjlok menjadi 100-5,32 = 94,68. Nah pada tahun 2021 jumlah medali kita menjadi 101.37," paparnya.
"Angka 101,37 ini mencerminkan kenaikan 7,07 persen dibandingkan kondisi tahun 2020. Tapi jika dibandingkan angka dasar 100, kenaikannya hanya 1,37 persen," sambung Dradjad.
Kedua, pertumbuhan 7,07 persen antara lain karena terjadi pelonggaran pergerakan orang pada kuartal II 2021.
Efeknya, kata Dradjad, konsumsi tumbuh 5,93 persen, lebih tinggi dari biasanya, karena beberapa tahun terakhir, konsumsi biasanya tumbuh sedikit di atas atau di bawah 5 persen.
Baca juga: Indonesia Berhasil Keluar dari Resesi, Ketua Banggar DPR Apresiasi Tim Ekonomi Jokowi
Masalahnya pelonggaran tersebut terbukti membuat kasus Covid-19 di Indonesia meledak, dengan tingkat kematian yang tinggi.
Kondisi ini, dinilai Dradjad, memaksa pemerintah menerapkan PPKM darurat dan PPKM level 4 di berbagai provinsi selama Juli hingga awal Agustus 2021.
"Hampir separuh dari kuartal III/2021 kita lalui dalam PPKM. Jelas, pertumbuhan konsumi akan anjlok, meski mungkin tdk akan negatif karena kita berangkat dari basis yang rendah," paparnya.
Efek lainnya, kata Dradjad, Indonesia ditempatkan Bloomberg sebagai negara yang paling rendah skor ketahanan pandeminya.
Baca juga: Efektivitas Penanganan Covid-19 Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia berada pada urutan 53 dari 53 negara yang masuk dalam Bloomberg Resilience Score (BRS).
"BRS yang buruk ini bisa mengganggu kepercayaan investor dan konsumen terhadap Indonesia pada kuartal III 2021 dan ke depannya," ucap Dradjad.
Ketiga, selisih antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi kali ini cukup besar, dan ini di luar kebiasaan.
"Saya masih harus melihat tren ke depan untuk mengetahui apakah hal ini hanya lonjakan sesaat, atau awal perubahan yang lebih mendasar," ujarnya.
"Jika yang terjadi adalah lonjakan sesaat dari komponen pengeluaran yang lain, ini menandakan lebih tingginya tingkat kerapuhan dari pertumbuhan ekonomi. Karena, konsumsi sebagai soko gurunya cenderung menurun di kuartal III 2021," tambah Dradjad.