Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap gedung atau rumah (rooftop photovoltaic power station), dan hal ini dinilai baik menurunkan ketergantungan listrik berbahan bakar fosil.
Dosen Ekonomi Energi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, Yayan Satiyakti mengatakan, kebijakan tersebut sangat bagus, tetapi jika berkaca pada pasar yang relatif berhasil seperti Uni Eropa, maka ada beberapa catatan yang mesti dilakukan Indonesia.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Kamis, 19 Agustus 2021: Waspada Cuaca Ekstrem di 29 Wilayah Indonesia
Pertama, kata Yayan, terkait permintaan dari rooftop PV, apakah kesediaan orang Indonesia menggunakan teknologi ini sudah tinggi atau belum.
Pasalnya, teknologi ini biasanya digunakan rumah tangga atau konsumen yang memang memiliki literasi baik untuk menggunakan teknologi ini, seperti literasi lingkungan akan ekonomi hijau dan investasi hijau.
Baca juga: BOR RSDC Wisma Atlet Kemayoran Turun Signifikan, Kini Hanya 17,6 Persen
"Di sisi lain, ada juga masyarakat yang tidak willingness to use. Maka jawabannya yaitu economic incentives. Apakah benefit menggunakan teknologi bagi rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan cost of investment and maintenance dari penggunaan teknologi ini,” ujar Yayan, Rabu (18/8/2021).
Ia mencontohkan, ada vendor yang siap untuk instalasi, layanan purna jual untuk maintenance dapat diakses seperti menggunakan mobile phone pada saat ini.
"Semua dapat diakses dengan mudah dan nilai ekonomis dari investasi ini mudah diakses, dan dibeli dengan murah atau investasi yang efisien,” ucap Yayan.
Kedua, terkait investasi yang efisien untuk roofsolar PV tidak mudah.
Yayan menyebut, di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Jerman, Spanyol atau Italia Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 Eurocent/kWh, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di wilayah Eropa Tengah Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 Eurocents/kWh pada 2017.
Namun, kata Yayan, harganya terus turun dalam jangka waktu tig tahun sebesar 50 persen menjadi 5-10 Eurocent/kwH.
“Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” tuturnya.
Menurutnya, jika melihat pada tarif dasar listrik (TDL) Indonesia harga akhir listrik di Indonesia berada di kisaran 6-8 Eurocents/kWh berdasarkan informasi dari PT PLN untuk TDL April – Juni 2021.
"Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 Eurocents/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung terhadap keekonomisan dari investasi teknologi rooftop PV,” papar Yayan.
Berdasarkan hasil perhitungan di EU, lanjut Yayan, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7 persen, sedangkan di Indonesia WACC atau IRR keekonomian di atas 10 persen.
“Di sini ada kesenjangan antara daya beli vs price, investment vs economic price, harusnya investment = price sehingga price = daya beli (purchasing power),” kata Yayan.