Meskipun demikian, Menko Airlangga mengungkapkan, kenaikan rasio utang ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia. Namun kenaikan ini juga terjadi di negara-negara lain.
“Rasio utang memang naik 36 persen. Namun ini kita tidak sendirian, hampir semua negara rasio utangnya (juga) naik,” ucap Airlangga.
Kenaikan jumlah utang yang terjadi di berbagai negara sejalan untuk mendukung penanganan dampak pandemi Covid-19. Airlangga juga mengungkapkan optimisme pemulihan ekonomi nasional di tahun 2022.
Hal tersebut terlihat dari Leading Indicator sektor eksternal yang menunjukkan resiliensi yang baik di semester I-2021.
“Indikator sektor eksternal Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif baik dan terkendali. Tercermin dari defisit transaksi berjalan yang rendah, cadangan devisa yang terus meningkat, ekspor impor yang naik signifikan, nilai tukar rupiah dan IHSG yang terjaga, yield obligasi pemerintah yang melandai, dan rasio ULN terhadap PDB dalam level aman,” bebernya.
Berdasarkan data terbaru Kementerian Keuangan (Kemenkeu) posisi utang pemerintah per akhir Agustus 2021 sebesar Rp 6.625,43 triliun.
Dengan jumlah tersebut, berarti rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir bulan laporan sebesar 40,85 persen.
Dalam paparan APBN KiTa September 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, jumlah utang tersebut mengalami peningkatan Rp 55,27 triliun bila dibandingkan dengan posisi Juli 2021.
“Kenaikan utang tersebut karena ada peningkatan belanja, terutama untuk sektor kesehatan seperti penyediaan vaksin, infrastruktur kesehatan, dan hal lain terkait kesehatan masyarakat dan perlindungan sosial,” tulis bendahara negara, dikutip Senin (27/9/2021).
Ia kemudian menambahkan, kondisi peningkatan utang ini tak hanya dialami oleh Indonesia. Bahkan, hampir seluruh negara berkembang mengalami peningkatan utang. (Tribun Network/ism/wly)