TRIBUNNEWS.COM -- Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memensiunkan pembangkit tenaga batu baranya ternyata mendapat perhatian dari Asian Development Bank (ADB).
ADB siap membantu Indonesia dan bahkan Pilipina untuk memensiunkan 50 persen Pembangkit Listrik batubara 10 tahun hingga 15 tahun ke depan.
Lewat rencana bertajuk: Energy Transition Mechanism, ADB siap memberikan dana multi miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk memensiunkan penggunaan pembangkit listrik bertenaga batubara, dan akan fokus pada investasi energi bersih.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa dalam KTT Iklim COP26 di Glasgow menyebut, pinjaman multilateral, investor swasta dan lainnya akan menyiapkan modal untuk rencana tersebut.
Baca juga: Butuh Dana Rp 429 Triliun untuk Transisi PLTU Batubara ke Energi Terbarukan
Dalam siaran pers ADB, Rabu (3/1), pembiayaan pertama transisi energi akan datang dari Jepang yang berkomitmen menggelontorkan dana sebesar 25 juta dolar AS.
Pembiayaan perdana ini akan menjadi tahap percontohan untuk mengumpulkan cukup uang yang mempercepat penghentian lima hingga tujuh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia dan Filipina.
Dikutip dari Bloomberg (3/11), pejabat di bank pembangunan yang berbasis di Manila sebelumnya menggambarkan rencana tersebut, antara lain juga kemungkinan menggunakan dana transisisi energi untuk menjalankan pembangkit listrik yang lebih bersih dan efisien yang dijalankan para operator listrik swasta.
Harapannya, para operator listrik swasta ini bisa menghasilkan pengembalian yang cukup selama periode yang lebih singkat untuk memfasilitasi penutupan awal aset.
Hanya saja, rencana ini mendapat kritik organisasi non-pemerintah. Kelompok-kelompok seperti Center for Energy, Ecology and Development bulan ini mengirim surat kepada ADB yang khawatiran atas kurangnya rincian rencana tersebut.
Baca juga: Pengamat Nilai Indonesia Harus Optimalkan PLTU Batubara
Ketergantungan pada energi batu bara sebagai sumber bahan bakar telah mendapat sorotan dalam beberapa bulan terakhir karena negara-negara global menghadapi krisis energi.
Dan , Indonesia adalah pengekspor batu bara terbesar di dunia. Adapun Filipina, batubara menyumbang lebih dari setengah sumberdaya alam di negara itu.
Sebelumnya ADB telah meneken MoU kerja sama dengan pemerintah melalui PLN untuk mendukung program Energy Transition Mechanism (ETM).
Kesepakatan antara ADB dan PLN diteken langsung Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dan Dirjen ADB untuk Asia tenggara Ramesh Subramaniam dalam pertemuan KTT PBB terkait perubahan iklim edisi ke 26 (COP26) di Glasgow, Inggris pada Senin (1/11/2021).
"ADB siap bersama mitra kami di Indonesia untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan yang juga andal dan terjangkau," kata Wakil Presiden ADB Ahmed M Saeed dalam keterangan tertulisnya.
Penandatangan MoU juga disaksikan langsung oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pahala Mansury, dan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong.
Baca juga: KPK Kembali Periksa Eks Petinggi PT Cirebon Power di Kasus Suap Izin PLTU 2
Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara mitra ADB untuk studi percontohan program ETM. Adapun dua negara lainnya yakni Vietnam dan Filipina.
Program ini bertujuan untuk membantu pengurangan karbon dengan mepensiunkan PLTU batu bara lebih dini. Adapun pembiayaannya bersumber dari skema belnded-finance atau pembiayaan publik dan swasta.
"ADB telah menyelesaikan studi pra-kelayakan ke dalam ETM dan sekarang sedang mengerjakan studi kelayakan penuh," kata Saeed.
Timbulkan Biaya Kompensasi
Langkah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara bertahap berpotensi menimbulkan biaya kompensasi atas kontrak yang masih berlangsung.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan kontrak-kontrak pembangkit listrik secara umum bersifat jangka panjang. Rencana early retirement untuk PLTU tentunya bakal berdampak pada kontrak pembangkit yang ada.
"Makanya kita harus berhati-hati, kalau kita katakan dilakukan early retirement, dihentikan lebih cepat dari masa kontrak yang ada maka harus ada kompensasi," kata Suahasil dalam Webinar Kompas Talks Bersama PLN baru-baru ini.
Kebutuhan dana tak hanya datang dari besaran kompensasi yang harus ditanggung, rencana mengganti PLTU dengan pembangkit EBT pun dinilai bakal menambah kebutuhan investasi.
Suahasil memastikan, kebutuhan pendanaan untuk kompensasi dan penggantian pembangkit PLTU dengan EBT ini menjadi dasar pemerintah mengembangkan program Energy Transition Mechanism (ETM).
"Ada hitung-hitungan bisnis, berapa yang ditanggung APBN, berapa yang dibantu uang internasional," jelas Suahasil.
Selain skema ETM, Suahasil memastikan upaya mendorong EBT ke depannya juga bakal ditopang pendanaan dari pajak karbon dan pajak atas karbon yang bakal diterapkan di 2022 mendatang.
Tenaga Fungsional Peneliti Ahli Madya Badan kebijakan FIskal (BKF) Joko Tri Haryanto mengungkapkan, saat ini pemerintah masih menyiapkan skema ETM dan diharapkan dapat segera dilaunching dalam waktu dekat.
"ETM itu nanti juga mekanismenya adalah blended finance, jadi bagaimana proses penggantian PLTU PLN itu nanti tidak sepenuhnya menggunakan dana APBN tapi kita blended di dalam skema ETM," kata Joko.
Joko melanjutkan, ada sejumlah tahapan yang bakal dilakukan yakni PLTU-PLTU milik PLN dan Independent Power Producer (IPP) yang masuk dalam rencana early retirement akan diikutsertakan dalam skema cap and trade emission.
Regulasi emission trading ini sendiri nantinya akan termuat dalam Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.