Cara lainnya bisa lewat penerapan mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi.
Misalnya, ditetapkan harga MCB Rp 500 dengan jangka waktu selama 7 tahun dan bunga sebesar 6%.
Yang beli MCB tentu kreditur. Setelah jatuh tempo, obligasi tadi dikonversi dengan saham Garuda. "Jadi, ada kepercayaan dari kreditur bahwa Garuda punya niat untuk membayar utangnya," tegas Edhi.
Kalau MCB itu bisa mengurangi beban utang Garuda sebesar Rp 10 triliun saja, itu sudah lumayan. Dana sebesar itu, terutama bisa digunakan untuk membayar utang-utang short term.
Yang penting, kata Edhi, ekuitas Garuda bisa positif terlebih dahulu. Kalau kinerja Garuda positif, tentu akan ikut mempengaruhi pergerakan harga saham Garuda di pasar modal.
Bagaimana jika skema penyelamatan Garuda lewat aksi right issue?
Menurut Edhi, aksi korporasi ini juga bagus buat memperbaiki ekuitas Garuda. Cuma, skema right issue biasanya paling tidak disukai oleh pemerintah.
Alasannya, skema ini tidak akan memberikan apa-apa, selain penambahan kepemilikan pemegang saham mayoritas di Garuda.
Lagi pula, kalau skema itu yang diambil, maka Garuda harus menggelar right issue secara besar-besaran.
Misalnya, dana yang dibutuhkan Garuda sebanyak Rp 20 triliun, maka harus dihitung berapa jumlah saham yang harus dilepas dalam right issue.
Lalu, berapa harga saham right issue tersebut. Sebab, saat ini, total jumlah saham Garuda sekitar 25,9 miliar saham.
Dampak right issue, pastinya akan membuat kepemilikan saham eksisting akan terdilusi. Tentu, tidak semua pemegang saham Garuda setuju sahamnya terdilusi.
Apalagi, jika harga saham rights issue Garuda di bawah harga saat mereka membeli saham Garuda di pasar modal.
"Efeknya, akan ada kerugian bagi investor dari selisih harga pembelian saham dan harga right issue Garuda. Namun, demi menyelamatkan maskapai dan reputasi di mata global, semua pihak harus berkorban, jika opsi itu yang dipilih," beber Edhi.