TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pendanaan fintech yang berasal dari super lender atau lender institusi bakal dibatasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merencanakan pembatasan pendanaan tersebut untuk mendorong kontribusi lender dari publik atau segmen ritel.
Selama ini, pendanaan fintech memang masih didominasi oleh keberadaan super lender.
Dengan aturan terbaru, OJK ingin kriteria lender institusi akan diperjelas, apalagi yang menyangkut lender dari luar negeri agar fungsi pengawasan lebih efektif dan terukur.
Perbankan saat ini sudah gencar menyalurkan kredit melalui kerjasama channeling dengan fintech.
Baca juga: Prospeknya Menggiurkan, Investor Mulai Gandrungi Fintech Kripto di Indonesia
Namun, sejumlah bank menilai rencana pembatasan itu tidak akan berdampak signifikan ke bisnis mereka.
"Pembatasan tersebut relatif tidak akan berdampak signifikan terhadap BRI, mengingat channeling hanya salah satu alternatif pilihan BRI dalam rangka menyalurkan kredit," kata Aestika Oryza Gunarto, Sekretaris Perusahaan BRI kepada Kontan.co.id, Senin (22/11/2021).
Disamping itu, lanjut Aestika, porsi penyaluran kredit melalui channeling kepada fintech di BRI masih sangat kecil dibandingkan dengan total penyaluran kredit perseroan.
Baca juga: Asosiasi Klaim 80 Persen Pembiayaan Fintech Syariah untuk Kegiatan Produktif
Hingga saat ini, BRI telah bekerja sama dengan beberapa P2P lending, e-commerce, ride hailing seperti Investree, Modal Rakyat, Gojek, Tokopedia dan Amartha dalam penyaluran kredit.
Total pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 173 miliar.
Sementara PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dalam membangun kolaborasi dengan fintech tidak hanya tujuan penyaluran kredit secara channeling.
Namun, kolaborasi yang dilakukan juga untuk tujuan mendorong inklusi keuangan/transaksi keuangan Indonesia secara menyeluruh.
Baca juga: Gara-gara Pinjol Ilegal, Asosiasi Fintech Sepakat Turunkan Bunga hingga 50 Persen
"Hal ini karena kami percaya masing-masing pihak dapat saling melengkapi dengan kapabilitas yang dimiliki. Fintech dapat menjadi mitra strategis BNI dalam memperluas jangkauan pemasaran," kata Mucharom, Sekretaris Perusahaan BNI.
Sehingga dampak pembatasan itu tentunya tidak akan signifikan ke bisnis perseroan.
Hasil kolaborasi BNI dan fintech tercermin dari peningkatan jumlah transaksi hingga per September 2021 yang mencapai 207 juta transaksi.
Oleh karena itu, bank pelat merah ini masih akan membuka peluang untuk bekerjasama dengan fintech.
Sedangkan untuk penyaluran kredit, BNI sudah berkolaborasi dengan beberapa fintech lending dengan realisasi pembiayana kepada sekitar 450 debitur dengan kualitas yang terjaga sehat.
Hanya saja, Mucharom tidak merinci total nilai kreditnya.
Adapun PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melihat kehadiran fintech membuka pintu baru perkembangan bisnis perbankan.
Oleh karena itu, perseroan sudah gencar melakukan kerjasama dengan fintech.
Dalam penyaluran kredit secara digital, BCA telah berkolaborasi dengan beberapa fintech, e-commerce dan digital start up terkemuka lainnya.
Hingga Oktober 2021, total disbursement kredit yang disalurkan secara digital mencapai Rp 145,7 miliar lewat partnership dalam berbagai skema.
"Program untuk digital partnership ini diantaranya Business Personal Loan Direct, Business Personal Loan E-commerce dan Channeling Fintech," kata Hera F Haryn EVP Secretariat & Corporate Communication BCA.
Baru-baru ini, BCA menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Modal Rakyat Indonesia sebagai penyelenggara fintech peer to peer lending Modal Rakyat.
Melalui kerjasama ini, BCA mengalokasikan limit kerja sama senilai Rp 20 miliar yang akan didistribusikan kepada UMKM yang sedang mengembangkan bisnis.
BCA juga baru menjalin kerja sama dengan PT Komunal Finansial Indonesia (Komunal) untuk membantu UMKM dalam mengembangkan bisnis dengan limit senilai Rp15 miliar.
Di samping itu, BCA memiliki perusahaan anak di bidang modal ventura yakni PT Central Capital Ventura (CCV) guna mendukung ekspansi bisnis fintech.
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B, Bambang W Budiawan mengatakan, rencana pembatasan dilakukan agar fintech lending tidak hanya bergantung pada satu super lender.
“Kita ke depannya sebenarnya ingin lendernya itu lender publik. Kalau kelihatan lender banyak itu berarti sesuatu yang baik,” ujarnya.
Jika merujuk data OJK pada September 2021, lender ritel baru memiliki kontribusi sebesar 22,8% dari outstanding pinjaman. Adapun nilainya hanya mencapai Rp 6,14 triliun.
Lender yang berasal dari luar negeri masih memberikan kontribusi 24,2% dari outstanding pinjaman. Nilainya mencapai Rp 6,51 triliun. (Dina Mirayanti Hutauruk)