Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah melarang ekspor batu bara selama satu bulan hendaknya disertai dengan penegakkan aturan domestic market obligation (DMO).
Pemerintah harus memperketat pelaksanaan aturan DMO agar ketentuan pelarangan ekspor batu bara ini tidak sekedar gertak sambal bagi pengusaha yang membandel.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto, menanggapi kebijakan Pemerintah melarang ekspor batu bara mulai 1 hingga 31 Januari 2022.
Menurut Mulyanto, kebijakan ini sudah sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dimana komoditas energi, seperti batu bara, tidak dianggap sebagai komoditas ekonomi yang diperdagangkan untuk meningkatkan devisa negara, namun lebih pada komoditas untuk menunjang pembangunan nasional dengan berbagai multiflier efeknya.
Baca juga: Ada Larangan Ekspor, Kemenhub Tutup Layanan Kapal Muatan Batu Bara yang Mau Diekspor
"Karena itu Pemerintah harus konsisten, tegas dan adil. Jangan hanya gertak sambal dan loyo dalam aspek pengawasan di lapangan," kata Mulyanto kepada wartawan, Senin (3/1/2022).
Baca juga: Ekspor Batu Bara Indonesia Bakal Dihentikan, Berikut Negara-negara Tujuannya
Anggota Komisi VII DPR RI itu menambahkan, untuk menjaga kewibawaan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan ini maka perlu juga diberikan sanksi yang tegas dan jelas bagi perusahaan yang melanggar.
Baca juga: Dukung Larangan Ekspor Batu Bara, YLKI: Kepentingan Nasional Harus Jadi Prioritas
Menurutnya pemerintah jangan sekadar memberi sanksi teguran, bayar denda atau pengurangan kuota produksi bagi perusahaan yang melanggar.
"Dibuka saja ke publik perusahaan mana yang melanggar kewajiban DMO sebesar 25 persen produksi batubara tersebut. Publik perlu tahu," kata Mulyanto.
Mulyanto juga meminta pemerintah mencabut izin usaha perusahaan batu bara yang melanggar.
Upaya ini penting agar kebijakan pengelolaan batubara benar-benar ditaati.
"Selama ini terkesan kebijakan Pemerintah yang seperti ini sering ditawar-tawar oleh pengusaha, sehingga di lapangan menjadi loyo," ujar Mulyanto.
Di sisi lain, kata Mulyanto, pemerintah juga harus adil dan konsisten dengan menerapkan prinsip reward dan penalties.
Bagi perusahaan yang patuh dengan kewajiban DMO, mestinya tetap dapat diperbolehkan untuk ekspor. Hal itu selagi harga batu bara tengah tinggi.
Sebagai reward bagi mereka sekaligus upaya untuk meningkatkan PNBP (penerimaan negara bukan pajak).
"Karena persoalan DMO ini sering berulang, ketika harga batubara tinggi, ke depan semestinya Pemerintah membangun sistem pengelolaan neraca batubara yang lebih komprehensif baik di sisi permintaan maupun di sisi pemasokan, sehingga lebih optimal," ujarnya.
"Misalnya, pengguna batubara membeli dengan cara kontrak jangka panjang secara langsung kepada produsen batubara. Tidak melalui trader. Serta manajemen teknis distribusi-logistik lainnya ditata sedemikian rupa, sehingga tidak terganggu perubahan cuaca," tandas Mulyanto.
Untuk diketahui, pemerintah memutuskan untuk menyetop ekspor batu bara pada 1–31 Januari 2022 guna menjamin ketersediaan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam negeri.
Pelarangan ekspor sementara tersebut berlaku untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, serta PKP2B. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), larangan sementara ekspor batu bara ini dilakukan guna memastikan pasokan komoditas itu untuk pembangkit listrik di dalam negeri benar-benar terjamin.
Mengacu Keputusan Menteri ESDM No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri 2021, Pemerintah telah menetapkan aturan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) pada 2021 ini minimal sebesar 25% dari produksi per produsen dengan harga untuk pembangkit listrik maksimal (HBA) adalah 70 US$/ton.