Laporan Wartawan Tribun Network, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ke tahap harmonisasi.
Namun dalam RUU tersebut ada klausul yang menyebutkan adanya sumber energi nuklir.
Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto mengatakan perihal sumber energi nuklir dalam RUU EBT pihaknya masih terus menerima masukan dan saran sebelum nantinya aturan tersebut disahkan.
"Kami masih terbuka untuk setiap usulan dan masukan terkait hal itu(sumber energi nuklir)," kata Sugeng dalam Webinar berjudul “RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi”, Selasa(8/3/2022).
Diketahui Pasal 6 RUU EBT menyebutkan bahwa sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya.
Baca juga: Melihat Lebih Dalam Peluang Kerja Sama Energi Terbarukan di Pertemuan G20
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir.
Pasal 7 ayat (2) RUU EBT mengatur bahwa pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir.
Baca juga: Investasi Energi Baru Terbarukan di NTT Menjanjikan, Kadin Janji Bawa Calon Investor
Kata Sugeng RUU EBT dalam tiga bulan ke depan sudah dapat disahkan. Ia juga menyatakan bahwa pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan.
Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.
Baca juga: Mantan PM Jepang Harapkan Indonesia Tidak Pakai Nuklir, Gunakan Energi Terbarukan
Sugeng memaparkan dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Mohamad Yadi Sofyan Noor memandang memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat.
Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.
“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan. Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” ujarnya.