Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah dalam mengatasi persoalan minyak goreng dinilai tidak konsisten, kebijakan berubah-ubah, tapi persoalan tak kunjung terselesaikan, mulai dari kelangkaan hingga harga yang melonjak.
Pengamat Ekonomi Rahma Gafmi mengatakan, suatu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah harus konsisten, dan dirumuskan dengan matang.
Kini, pemerintah telah mencabut peraturan mengenai Harga Eceren Tertinggi (HET) untuk komoditas minyak goreng kemasan.
"Kebijakan harus konsisten. Harusnya setiap kebijakan dirumuskan dengan matang. Dari awal harusnya sudah tau bagaimana dampak HET baik positif dan negatifnya, sehingga kebijakan ini bisa meminimalisir dampak negatif terhadap masyarakat dapat diterapkan," ujar Rahma saat dihubungi, Rabu (16/3/2022).
Minyak goreng saat ini langka di berbagai daerah. Jika pun ada, harganya banyak yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.
Baca juga: HET Minyak Goreng Dicabut, DPR : Pemerintah Lemah, Nyerah Pada Kartel yang Mendikte Pasar Pangan
Hal tersebut tidak ditampik oleh pemerintah. Menurut Rahma, tidak konsisten suatu kebijakan dapat menyebabkan gejolak di masyarakat.
"Tujuan penerapan kebijakan penetapan HET dan dicabutnya HET terutama itu harus jelas disampaikan kepada publik," kata Rahma.
Baca juga: Pedagang: HET Minyak Goreng Curah Tak Berlaku di Pasar Tradisional
Rahma menyarankan agar pemerintah membuat strategi yang tepat. suatu strategi untuk menyelesaikan masalah bukan membuat persoalan baru. Ia menilai kebijakan soal HET bukan solusi yang tepat.
"Yang harus dilakukan segera itu mulai dengan memperbaiki sistem logistik," tutur Rahma.
Sebab, lanjut dia, Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisah antar wilayah, sehingga sistem logistik masih belum efisien dalam menjangkau semua wilayah di Indonesia.
Baca juga: Harga Minyak Goreng di Balangan Masih Rp 20 Ribu per Liter, di Bandung Barat Rp 50 Ribu per 2 Liter
Perbaikan sistem logistik diharapkan dapat menyeluruh hingga pelosok agar barang pangan dapat terdistribusi dengan baik.
"Setiap wilayah dapat melakukan perdagangan pangan dengan mudah, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi dapat merata," terangnya.
Sistem logistik harus terintegrasi, memiliki road map antar wilayah yang jelas, pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan untuk memudahkan distribusi, serta adaptasi penggunaan teknologi juga perlu dikembangkan untuk efisiensi.
Selain persoalan minyak goreng, ucap Rahma, demi menigkatkan perekonomian Indonesia produktivitas pertanian khususnya sektor pangan harus ditingkatkan mengingat kontribusi sektor ini cukup besar terhadap GDP namun pertumbuhannya terus mengalami penurunan.
"Melalui perkembangan teknologi dan inovasi sistem pertanian harusnya output pertanian dalam negeri dapat memenuhi permintaan domestik," ucap Rahma.
Di antaranya dengan mulai memetakan kembali daerah dengan keunggulan kompetitif produk pangan agar dapat mensejahterakan daerah dan tentunya dapat meningkatkan output bahan pangan nasional.
Sebagai negara yang pernah mengalami swasembada pangan, ucap Rahma, akan lebih baik jika lahan pertanian pangan untuk tetap terus dijaga. Setiap tahun di berbagai daerah, lahan pertanian pangan terus mengalami penurunan.
"Maka perlu adanya regulasi yang jelas mengenai pertahanan lahan pertanian pangan," ujar Rahma.
Selain itu, permasalahan inflasi produk pangan juga masih terjadi secara dinamis, maka ketersediaan stok bahan pangan harus terjaga melalui misalnya setiap daerah memiliki substitusi produk.
"Minyak goreng bisa dilakukan ibu-ibu RT dengan cara membuat sendiri dari minyak kelapa, sehingga tidak membuat permintaan semakin tinggi yang menyebabkan harga semakin liar tak terkendali," ujar Rahma.
Terakhir, Pemerintah juga dapat menginformasikan secara terbuka bagaimana keadaan pangan terus dijaga agar tidak menimbulkan panic buying di masyarakat.
"Ini malah nanti yang ada ibu-ibu akan ngantre minyak curah di pasar-pasar tradisional yang dapat menyebabkan masalah baru lagi," tutur Rahma.